Menebak Arah Putusan Pengujian Batas Usia Capres-Cawapres
Terbaru

Menebak Arah Putusan Pengujian Batas Usia Capres-Cawapres

Semua nama baik akan terwujudkan jika MK tetap berpegang pada konstitusi dan menegaskan ambang batas usia capres-cawapres bukanlah persoalan diskriminasi, melainkan kualifikasi.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK Jakarta. Foto: RES
Gedung MK Jakarta. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) tengah mengadili permohonan pengujian Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedek Prayudi dkk, kader Partai Garuda, dan Wali Kota Bukittinggi Periode 2021-2024 Erman Safar dkk terkait syarat usia minimal 40 tahun sebagai calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Pengajuan 3 permohonan itu untuk menurunkan ambang batas usia minimal 40 tahun sebagai capres-cawapres dengan dalih moralitas dan rasionalitas serta diskriminasi. 

Misalnya, dalam petitum permohonan, menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun.” Selain itu, memohon agar MK menyatakan frasa "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.”

Permohonan ini sudah memasuki sidang pleno mendengarkan pemerintah dan DPR, hingga pihak terkait. Misalnya, dalam sidang pada 8 Agustus 2023 lalu, Pihak Terkait Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menganggap permohonan uji materil pasal mengenai batas usia 40 tahun capres-cawapres yang dimohonkan dalam tiga perkara tersebut bukan terkait masalah konstitusionalitas norma. Sedangkan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mendukung para pemohon dengan menilai Pasal 169 huruf q UU Pemilu tidak mengakomodir partisipasi generasi muda.    

“Tentu permohonan ini menimbulkan banyak pertanyaan, karena PSI tidak dapat mengajukan capres-cawapres, dan kader PSI tidak ada satupun yang dapat menjadi capres atau cawapres,” ujar Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani saat dikonfirmasi Hukumonline, Sabtu (19/8/2023).  

Ia menebak nasib perkara di MK belakangan ini hanya berujung pada 2 kesimpulan tanpa perlu menggali dari informan. Jika terkait hak asasi, maka MK berdalih Open Legal Policy. Tapi, jika terkait kepentingan politik, maka sarat akan kejanggalan. Sebut saja, proses pelemahan KPK dan transformasi KPK menjadi alat politik Presiden Jokowi melalui Putusan MK yang menempatkan KPK sebagai Lembaga eksekutif di bawah kekuasaan Presiden.

Kemudian dilanjutkan dengan perubahan syarat usia minimal Komisioner KPK dari 50 tahun ke 40 tahun (Pasal 29 Huruf e UU No.19 tahun 2019 tentang KPK), berbasis pertimbangan soal frasa "atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK" yang tidak pernah ada pada seleksi pimpinan lembaga negara dan tidak ada juga dalam Konstitusi, UUD 1945 maupun UU KPK.

Menurutnya, MK jelas telah dikooptasi oleh Presiden Jokowi. Menegaskan kesimpulan ini juga tidak dapat dilepaskan dari kedekatan personal Presiden Jokowi dengan Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik iparnya sendiri meski melanggar Pasal 17 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan Penerapan Prinsip Ketidakberpihakan dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Tags:

Berita Terkait