Menerima Keberatan WP Bukan Selalu Pidana
Berita

Menerima Keberatan WP Bukan Selalu Pidana

KPK menduga ada PMH atau penyalahgunaan wewenang saat menerima seluruh permohonan keberatan BCA.

FNH
Bacaan 2 Menit
Menerima Keberatan WP Bukan Selalu Pidana
Hukumonline
Penetapan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo sebagai tersangka masih menjadi tanda tanya. Terutama kesalahan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan. Yang pasti, penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan dengan kasus perpajakan PT Bank Central Asia (BCA).

Terkait kasus ini BCA menyatakan telah menjalankan hak melalui prosedur dan tata cara perpajakan yang benar. Pembelaan diri BCA tak menyurutkan langkah KPK untuk menelusuri lebih jauh keterlibatan pihak lain dalam kasus yang tejadi lebih sepuluh tahun silam ini, saat Hadi masih menjabat Dirjen Pajak, Kementerian Keuangan.

Kasus ini diduga berkaitan dengan keputusan Hadi selaku Dirjen Pajak menerima seluruh keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) BCA tahun pajak 1999-2003. Potensi kerugian negara mencapai  Rp375 miliar.

KPK menduga Hadi melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal ini mengatur penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Berkaitan dengan kasus Hadi, pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo, berpendapat keputusan menerima atau menolak keberatan Wajib Pajak (WP) tidak harus selalu dipandang sebagai perbuatan pidana.  Keberatan pajak BCA harus didalami juga dari perspektif hukum acara perpajakan, sehingga tak semua keputusan mengabulkan keberatan WP sebagai perbuatan pidana.

“Tidak serta merta keputusan keberatan pajak ini dianggap sebagai pidana karena ini keputusan pejabat tata usaha negara sebenarnya,” kata Yustinus kepada hukumonline, Selasa (22/4).

Kedua, menyoal korupsi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Hadi Poernomo (HP). Ia menilai, jika dilihat dari sisi kasus, HP dijadikan sebagai tersangka bukan menyoal teknis perpajakan, tetapi ini hanya dijadikan sebagai pintu masuk oleh KPK untuk membuka kasus pajak BCA. Ia pun yakin bahwa KPK sudah memiliki data terkait aliran dana dalam kasus ini.

Meski belum mengetahui secara pasti perkaranya, Yustinus meyakini kemungkinan terjadinya kasus yang serupa tidak hanya terjadi pada BCA. “Saya tidak mengatakan kasus ini HP pasti salah karena mengabulkan keberatan BCA dan yang lain tidak, karena kebenaran material di pajak tidak bergantung pada jumlah kasus yang diputus, tapi kemungkinan ada muncul kesadaran,” jelasnya.

Namun, ia melihat ada kejanggalan dalam putusan keberatan BCA. Keputusan menerima seluruh keberatan pajak yang diajukan oleh BCA diambil saat mendekati jatuh tempo. Nuansa keberpihakan terhadap wajib pajak terasa kuat.

Atas kejadian kasus ini, Yustinus memandang pentingnya cara penyelesaian jika keputusan keberatan yang dikeluarkan Dirjen Pajak ternyata salah dan merugikan negara. Sejauh ini, lanjutnya, keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak tidak memiliki ruang untuk pengajuan upaya hukum lanjutan, seperti peninjauan kembali

“UU KUP harus direvisi, karena selama ini WP tidak setuju bisa mengajukan banding. Tapi sekarang sebaliknya. Kalau WP setuju atas putusan tapi merugikan negara, nah ini harus ada ruang yang memungkinan peninjauan kembali. Kalau ke pengadilan pajak hanya sisi WP,” pungkasnya.
Tags: