Mengenali Tiga Model Pertanggungjawaban Platform Digital
Terbaru

Mengenali Tiga Model Pertanggungjawaban Platform Digital

Mulai dari pertanggungjawaban mutlak (strict liability); kekebalan untuk platform digital (safe harbour); dan imunitas luas (broad immunity model).

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Teknologi informasi sangat berkembang pesat dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Misalnya berbagai platform digital menawarkan layanan, antara lain belanja untuk kebutuhan sehari-hari, transportasi, mengantar barang atau makanan dan lain sebagainya.

Direktur eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar, menyebut karakteristik platform digital antara lain menawarkan kepada pengguna beberapa jenis interaksi yang memungkinkan teknologi untuk tujuan mendapatkan atau menyelesaikan sesuatu yang berguna dan berharga.

Platform digital bisa juga menawarkan untuk setiap pengguna tumbuh dengan jumlah orang dan/atau perusahaan yang menggunakannya sebagai implikasi dari the network efek (efek jaringan). Karakteristik platform digital juga dapat mengakomodasi berbagai jenis model pendapatan. Pada satu sisi platform menyediakan interaksi sosial secara gratis bagi penggunanya, tapi juga ada layanan premium yang berbayar, termasuk peluang mensubsidi salah satunya.

“Setiap negara memiliki definisi masing-masing tentang apa itu platform digital,” kata Wahyudi dalam webinar bertema Menggagas Model Tanggung Jawab Platform Digital, Tawaran Awal”, Senin (29/11/2021).

Platform digital bentuknya beragam, misalnya platform dengan model bisnis untuk memfasilitasi antara orang dan organisasi, seperti Google, Facebook, Twitter, Linkedln, dan WeChat. Ada juga platform dengan model bisnis yang memungkingkn pembeli dan penjual untuk menyelesaikan transaksi dengan imbalan biaya, seperti Amazon, Alibaba, dan Spotify.

Wahyudi menjelaskan pengaturan platform digital di berbagai negara sangat beragam. Misalnya di Eropa, sampai sekarang masih terjadi perdebatan untuk pengembangan peraturan dan model tanggung jawab platform digital. Tapi mereka menekankan pada beberapa prinsip, seperti lapangan permainan yang setara untuk layanan digital yang sebanding. Memastikan perilaku secara bertanggung jawab untuk melindungi nilai-nilai dasar. Menumbuhkan kepercayaan transparansi dan memastikan keadilan. Serta menjaga pasar tetap terbuka dan tidak diskriminasi untuk mendorong ekonomi berbasis data.

Di Singapura, Wahyudi menjelaskan otoritas IMDA (Infocomm Media Development Authority) menempatkan platform digital sebagai platform yang menciptakan nilai dengan memfasilitas pertukaran antara dua atau lebih kelompok yang saling bergantung. Hal itu memungkinkan peningkatan berbagai informasi, meningkatkan kolaborasi, mendorong inovasi dalam produk dan layanan baru, dan mendorong pertumbuhan efek jaringan karena lebih banyak lagi pemain bergabung.

“Pengaturan platform digital di Indonesia tersebar dalam berbagai regulasi yang berkaitan antara lain dengan perdagangan dan perbankan.”

Untuk pertanggungjawaban platform digital, Wahyudi menjelaskan sedikitnya ada 3 model. Pertama, model tanggung jawab mutlak (strict liability) yang membebankan tanggung jawab platform digital atas konten pihak ketiga yang dipertukarkan. Platform diminta untuk memantau konten agar mematuhi UU. Jika platform gagal memenuhi kewajibannya, akan dikenakan sanksi termasuk penarikan izin usaha dan/atau pidana.

Kedua, model safe harbour, memberi kekebalan terhadap platform digital asalkan sesuai dengan persyaratan tertentu. Model ini menekankan instrumen notice and take down sebagai jantung prosedur pembebanan tanggung jawab. Model ini dibagi menjadi 2 pendekatan yakni vertikal dimana pertanggungjawaban hanya berlaku untuk jenis konten tertentu dan horizontal yakni menerapkan tingkat imunitas yang berbeda tergantung pada jenis aktivitas yang dipermasalahkan.

Ketiga, model imunitasnya luas (broad immunity model). Model ini memberikan imunitas yang luas atau bersyarat mengenai tanggung jawab platform digital atas konten pihak ketiga dan membebaskan pembebanan persyaratan umum untuk memantau konten tersebut.

Dia melanjutkan regulasi mengkategorikan platform digital di Indonesia sebagai bagian dari penyelenggara sistem elektronik, yang cakupan ruang lingkupnya sangat luas. Definisi itu mencakup seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan sistem elektronik, tanpa ada kategorisasi yang detail dengan berbasis pada spesifikasi layanan dan model bisnis.

Pengaturannya sektoral dan tidak terintegrasi antar model bisnis dan layanan yang berbeda-beda tergantung operatornya masing-masing. Akibatnya sulit menentukan model pertanggungjawaban dari setiap platform digital apakah sama atau beda.

Mengacu Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informasi No.5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Merchant Electronic Commerce, Wahyudi menilai secara umum pertanggungjawaban platform di Indonesia mengacu model safe harbour.

Wahyudi merekomendasikan model pertanggungjawaban platform digital di Indonesia meliputi beberapa hal. Pertama, kewajiban umum operator platform terhadap pengguna platform. Kedua, pertanggungjawaban platform terhadap pemasoknya sesuai dengan model bisnisnya.

Ketiga, pertanggungjawaban atas kurangnya transparansi, dominasi dari platformnya, dan pertanggungjawaban terhadap bentuk pelanggaran lainnya. Keempat, pertanggungjawaban untuk menyediakan akses pemulihan yang efektif baik kepada konsumen maupun pemasok.

VP Public Policy and Government Relatins GoTo, Ardhanti Nurwidya, mengatakan sulit mengkategorisasi platform digital karena perkembangannya cepat dan bentuknya variatif. Misalnya, di grup perusahaannya memiliki 3 anak perusahaan yang memiliki fokus masing-masing misalnya ada yang untuk pengantaran barang dan makanan (gojek), kemudian finansial (goto financial), dan e-commerce (tokopedia).

Sejumlah tantangan yang dihadapi platform digital terkait perlindungan konsumen antara lain digital safety, persaingan usaha yang semakin ketat, regulasi belum sesuai perkembangan zaman, ketersediaan akses internet yang merata, dan pembangunan SDM.

Melansir data BPKN, Ardhanti menyebut per 30 September 2021 e-commerce menjadi salah satu industri yang paling banyak menerima pengaduan konsumen. Hal ini disebabkan meningkatnya penggunaan internet di Indonesia secara cepat tanpa diiringi literasi digital yang mumpuni. “Terkait perlindungan konsumen kami melakukan program edukasi (literasi digital, red) dan kerja sama strategis dengan BPKN.”

Tags:

Berita Terkait