Menghadirkan Keadilan dalam Transisi Energi
Kolom

Menghadirkan Keadilan dalam Transisi Energi

Telah terjadi kesenjangan regulasi di dalam transisi energi berdasarkan riset terkini. Situasi regulasi saat ini berpotensi menyebabkan ketidakadilan sangat besar dalam proyek transisi energi.

Bacaan 4 Menit

Penghapusan sistem acquisitive verjaring dari rezim hukum pertanahan menjustifikasi dan memperkuat cara pandang represif aparat pemerintah di lapangan. Aparat pemerintah cenderung melihat masyarakat yang belum memiliki sertifikat hak atas tanah sebagai penduduk ilegal. Mereka dianggap tidak memiliki hak apa pun sehingga dapat dipindah secara paksa, bahkan dengan mengerahkan kekuatan polisi dan militer.

Keadilan dan Partisipasi Bermakna

Pengakuan terhadap hak masyarakat terdampak merupakan syarat penting dari pemenuhan keadilan. Ini tidak hanya di dalam proyek transisi energi tetapi juga untuk seluruh proyek pembangunan. Standar-standar perlindungan bagi masyarakat terdampak—yang menjadi konsensus internasional—menempatkan partisipasi sebagai kunci memenuhi keadilan bagi masyarakat. Partisipasi yang dimaksud adalah partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Partisipasi yang ada harus memberi derajat kewenangan tertentu bagi masyarakat untuk ikut memutuskan perencanaan dan pelaksanaan proyek pembangunan. Partisipasi yang bermakna harus dibedakan dari cara-cara partisipasi semu yang sering dipraktikkan—partisipasi tokenistic (pura-pura), bahkan dalam beberapa kasus bersifat manipulatif—. 

Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat mutlak diperlukan. Dalam sistem hukum, pengakuan merupakan syarat dari adanya klaim terhadap suatu hak. Hilangnya pengakuan klaim atas tanah yang ditinggali puluhan tahun secara terus menerus membuat masyarakat terdampak sangat mudah ditinggalkan di dalam proses kebijakan. Hal ini dapat terlihat di dalam struktur konflik Pulau Rempang. Isinya menunjukkan pandangan formal legalistik yang kuat dari aparat pemerintah. Aparat pemerintah melihat ada atau tidak adanya hak masyarakat terbatas pada satu bundel dokumen bernama sertifikat tanah. Cara pandang formal legalistik ini harus dihilangkan dari paradigma berpikir aparat pemerintah. Masyarakat yang melakukan penguasaan efektif terhadap lahan dapat pula dipandang telah memiliki klaim substantif terhadap tanah yang didudukinya. Sehingga, adanya pengakuan terhadap hak tersebut mengharuskan aparat pemerintah perlu mendekati masyarakat terdampak dengan cara-cara persuasif. Kaidah-kaidah partisipasi bermakna dalam pembangunan harus diwujudkan.

Tentu saja dengan situasi regulasi saat ini—dengan adanya penghapusan acquisitive verjaring dari rezim hukum pertanahan di Indonesia dan absennya pengakuan terhadap masyarakat dari Perpres 112/2022—akan semakin mempersulit pengakuan terhadap hak masyarakat terdampak. Bukan tidak mungkin, kasus-kasus yang terjadi di Pulau Rempang akan juga terjadi pada proyek-proyek terkait transisi energi. Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah proaktif untuk memastikan keadilan di dalam transisi energi. Harus ada revisi segera dengan mengeluarkan regulasi baru yang mengakui hak masyarakat terdampak. Kata “adil” dalam transisi energi hanya akan menjadi kata kosong tanpa makna jika situasi terkini tidak dikoreksi perundang-undangan baru.

*) Giri Ahmad Taufik, Dosen Pascasarjana Universitas Djuanda Bogor/Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH Unpad.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait