Mengurai Problematika Pengadilan Tipikor Pasca-Terbit UU 46/2009
Terbaru

Mengurai Problematika Pengadilan Tipikor Pasca-Terbit UU 46/2009

Pembentukan pengadilan tipikor diharapkan dapat meningkatkan pemberantasan tipikor di Indonesia.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro.
Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro.

Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pertama kali dibentuk pada 2005. Lembaga ini dibentuk untuk memberi rasa keadilan dalam masyarakat di mana sebelumnya pengadilan tipikor ditangani peradilan umum. Namun, seiring waktu, terdapat berbagai persoalan pada pengadilan tipikor seperti integritas dan kualitas sumber daya manusia, manajemen peradilan, anggaran hingga kualitas putusan.

Untuk mengkaji ragam persoalan tersebut, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan East-West Center meluncurkan laporan hasil penelitian terhadap kinerja pengadilan tipikor setelah berlakunya Undang-Undang 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Laporan penelitian yang didukung Siemens Integrity Initiative bertujuan mengevaluasi kinerja, memetakan masalah dan tantangan, serta merumuskan rekomendasi-rekomendasi untuk meningkatkan kualitas Pengadilan Tipikor. 

Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro, menyambut baik peluncuran laporan hasil penelitian tersebut. Dia menjelaskan pembentukan pengadilan tipikor merupakan salah satu wujud semangat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme pada era reformasi.

Selain itu, pembentukan pengadilan tipikor diharapkan dapat meningkatkan pemberantasan tipikor di Indonesia. Sebab, pemberantasannya masih tersendat-sendat bahkan stagnasi sehingga menimbulkan citra negatif terhadap aparat penegak hukum secara khusus dan pemerintah secara umum. (Baca Juga: Bukan Lawyer Fee, Saksi Sebut Pemberian ke Robin Sebagai Uang Kemanusiaan)

Seperti diketahui, perundang-undangan pengadilan tipikor mengalami berbagai perubahan. Semula melalui UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tipikor berhak dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tipikor yang hanya diajukan KPK. Terbentuknya KPK dan Pengadilan Tipikor sebagai amanat UU 31/1999 sebagaimana telah diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Namun, dalam praktiknya pelaksanaan Pengadilan Tipikor yang dikhususkan untuk KPK menimbulkan dualisme. Hal ini karena perkara korupsi yang ditangani kejaksaan dilakukan pada pengadilan negeri. Sehingga, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya nomor Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 memutuskan agar Pengadilan Tipikor dibentuk UU tersendiri yang kemudian lahir UU 46/2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

“UU pengadilan tipikor versi UU 46/2009 tersebut menghapus dualisme dalam peradilan tipikor sehingga satu-satunya yang berwenang yang memeriksa mengadili dan memutus sebagai peradilan khusus yang ada di peradilan umum. Beralihnya rezim pengadilan tipikor memang bawa dampak perubahan penting dibanding aturan sebelumnya dan menimbulkan konsekuensi dari sarana dan prasarana sampai segi perangkat pendukung termasuk perekrutan SDM hakim tipikor,” jelas Andi.

Konsekuensi dari UU 46/2009 tersebut yaitu, pembentukan Pengadilan Tipikor di tiap ibu kota provinsi dan kabupaten/kota. Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat permasalahan dalam persidangan dan juga belum terlaksananya pengadilan tipikor di setiap ibu kota kabupaten dan kota.

“Dalam pelaksanaannya MA tidak menutup mata adanya berbagai masalah yang perlu disikapi dan perhatian untuk tingkatkan penyelenggaraan peradilan pada perkara korupsi yang berkualitas dan efektif,” jelas Andi.

Selain itu, perlu juga penguatan hakim bersertifikat dan adhoc pada perkara korupsi untuk meningkatkan kualitas putusan yang berkeadilan. Kemudian, perlu juga meningkatkan minat hakim bersertifikat untuk ditunjuk atau ditempatkan menangani perkara korupsi karena beban kerja tinggi namun belum diberi penghargaan yang baik sehingga harus dipertimbangkan. Tidak lupa, aparat penegak hukum perkara korupsi juga harus diberi penghargaan baik dengan tunjangan pada setiap berkas perkara korupsi.

“Tantangan dan godaan sangat besar maka integritas dan profesionalisme pada hakim bersertifikat pada hakim dan hakim ad hoc harus berkesinambungan dilakukan, MA berupaya akreditas penjaminan mutu peradilan wilayah bebas korupsi, wilayah bersih melayani, serta pembinaan oleh MA dan peradilan tinggi. MA berkomitmen penguatan tipikor keluarkan Peraturan MA dan Surat Edaran disebabkan dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan,” jelas Andi.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyampaikan Pengadilan Tipikor seharusnya menjadi contoh bagi pengadilan secara umum dari aspek administrasi perkara, fasilitas pengadilan yang efisien, transparan dan akuntabel serta didukung teknologi informasi. Selain itu, Pengadilan Tipikor harus mampu melahirkan putusan yang berkualitas dan kedepankan argumentasi hukum yang baik.

Pengadilan Tipikor juga harus memperbaiki proses penanganan perkara dan kualitas putusan sehingga menjawab masalah-masalah hukum yang ada dengan baik dan jadi rujukan serta beri kepastian hukum. Hal lain, mengenai beban kerja hakim tipikor yang berlebihan sehingga jalannya persidangan tidak efisien.

“Berdasarkan pengalaman saya ketika jadi hakim ad hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pernah sidang sampai jam 2 pagi dan sering berakhir sampai tengah malam. Ini jadi kebiasaan rutin karena banyaknya perkara dan jumlah hakim tipikor terbatas yang menangani 5-6 perkara per hari, ini biasa,” jelas Alexander.

Selain itu, keamanan para pihak juga harus ditingkatkan karena kasus tipikor mengundang perhatian tinggi publik. “Dulu sering ditemui saksi-saksi datang tanpa pengawalan dan ada juga terdakwa duduk dalam ruang sidang karena nunggu sidang berikutnya,” jelas Alexander.

Dia juga menjelaskan tersebarnya peradilan tipikor di setiap daerah memiliki tantangan tersendiri bagi KPK. Hal ini karena lokasi KPK yang masih terpusat di Jakarta. “Mengingat kedudukan KPK ada di ibu kota itu menjadi tantangan tersendiri sehingga biaya penuntutan tinggi dan cukup sita waktu. Setiap minggu harus bolak-balik belum lagi jumlah saksi-saksi yang lebih banyak dari yang lainnya,” jelas Alexander.

Tags:

Berita Terkait