Menjadi Saksi Adalah Bentuk Pengabdian Kepada Negara
Berita

Menjadi Saksi Adalah Bentuk Pengabdian Kepada Negara

Belum adanya Undang-Undang Perlindungan Saksi tidak dapat dijadikan alasan seseorang menolak untuk bersaksi. Bila merasa keselamatannya terancam, seorang saksi dapat melapor ke polisi.

CR
Bacaan 2 Menit
Menjadi Saksi Adalah Bentuk Pengabdian Kepada Negara
Hukumonline

 

Pandangan Eva itu diamini oleh Komariah Emong, dosen pidana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Komariah menuturkan, berdasarkan KUHAP sudah jelas bahwa pemberian kesaksian itu adalah kewajiban. Kesaksian itu, lanjutnya, sangat membantu dalam penanganan perkara-perkara korupsi. Merupakan kewajiban dong untuk membantu pemerintah mengusut tindak pidana korupsi, tegas Komariah ketika dihubungi hukumonline pekan lalu.

 

Belum adanya UU Perlindungan Saksi dan Pelapor ini, menurut Komariah bukan menjadi alasan bagi seseorang untuk menolak pemberian kesaksian. Dikatakannya, kalau seorang saksi merasa terancam, mereka dapat melapor kepada polisi.

 

Lagipula, pelaku pengancaman bisa dikenakan dengan KUHP. Semuanya sudah diatur di KUHP, hanya saja orang sering membuatnya jadi berbelit-belit, tukasnya

 

Bukan kewajiban

 

Dihubungi secara terpisah, dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Rudi Satriyo menilai adanya pendapat bahwa kesaksian adalah suatu hak dapat diterima. Pasalnya, dia melihat posisi seorang saksi sangat terjepit. Rudi menambahkan, pemberian sanksi bagi mereka yang menolak memberi kesaksian, seharusnya diabaikan, mengingat tidak ada jaminan keselamatan.

 

 

Maka dari itu dalam pasal 48 KUHP, dikenal nodtoestan, yang masih bagian dari pengertian overmacht (daya paksa) Artinya dia bisa memilih untuk menjadi saksi atau tidak dengan melihat keselamatannya, paparnya.

 

Lebih jauh, Rudi menilai kesaksian tidak mutlak dapat dijadikan bukti untuk membenarkan atau menyalahkan tindakan seseorang. Sedangkan untuk pembuktian kasus korupsi sendiri, menurutnya tidak harus dibuktikan dengan adanya kesaksian, 

 

Dia menegaskan, faktor terpenting dalam pembuktian korupsi adalah informasi dari data yang diberikan oleh manusia. Jadi orang yang mengetahui informasi mengenai suatu tindak kejahatan, bisa membantu dengan sekedar memberikan data-data yang diperlukan oleh penyidik.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, Penasehat Khusus Pemerintah Norwegia dalam bidang pemberantasan korupsi dan pencucian uang, Eva Joly, menekankan bahwa memberikan kesaksian di pengadilan merupakan kewajiban bagi setiap warga negara yang mengetahuinya. Bahkan, kata Eva, di banyak negara, pemberian kesaksian atau pelaporan tentang adanya tindak kejahatan adalah suatu bentuk pengabdian kepada negara.

 

Ia mengibaratkan, pemberian kesaksian ini sama halnya dengan kewajiban Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dalam melaporkan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan (STR) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

 

Pelaporan mengenai adanya STR saja sudah menjadi suatu kewajiban PJK. Apabila PJK mengetahui adanya STR, maka harus melaporkannya. Kalau tidak dilaksanakan, akan diberi hukuman. Ini adalah ketentuan standar internasional, ujar Eva.

 

Seperti dalam kasus korupsi, Eva melihat informasi tentang suatu tindak pidana korupsi, sangat mungkin diketahui dari di dalam lingkungan dalam terjadinya korupsi. Sehingga hanya orang sekitarnya atau pihak yang turut serta di dalam korupsi itu sendiri, yang dapat mengetahui secara jelas.

 

Sedangkan mengenai pemberian kompensasi bagi para pelapor, menurutnya berpulang pada kebijakan masing-masing negara, karena setiap negara memiliki aturan yang berbeda. Namun, kata dia, tidak ada standar internasional yang mengatur mengenai pemberian kompensasi ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: