Menyoal SP3 dan Pilihan KPK Melepas Tersangka BLBI

Menyoal SP3 dan Pilihan KPK Melepas Tersangka BLBI

Jika KPK diberikan wewenang untuk mengeluarkan Surat perintah Penghentian Penyidikan terhadap perkara korupsi yang tengah ditangani aparat penegak hukum lain, dikhawatirkan wewenang tersebut dapat disalahgunakan.
Menyoal SP3 dan Pilihan KPK Melepas Tersangka BLBI

Rabu, 31 Maret 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pasangan suami istri Sjamsul dan Itjih Nursalim. Keduanya sebelumnya, telah ditetapkan menjadi tersangka KPK sejak 13 Mei 2019 atas kasus yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun tersebut. meski telah diprediksi oleh banyak pihak, penerbitan SP3 oleh KPK kali ini tetap saja menarik perhatian publik. Mengingat kasus ini merupakan yang pertama memperoleh SP3 sepanjang sejarah KPK berdiri.

Momentum terbitnya SP3 pertama kali oleh KPK membuka kembali perdebatan hangat yang pernah muncul sebelum disahkannya UU No. 19 Tahun  2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Undang-Undang KPK). Terkait kewenangan menerbitkan SP3  yang menjadi substansi perubahan Pasal 40 dalam revisi UU KPK kala itu, banyak pihak telah mengingatkan akan potensi terjadinya penghentian proses penyidikan terhadap dugaan kasus tindak pidana korupsi yang tengah ditangani oleh KPK.
 
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri, melalui Putusan Nomor 006/PUU-1/2003 tertanggal 30 Maret 2004 menegaskan larangan pemberian SP3 kepada KPK semata-mata untuk mencegah terjadainya penyalahgunaan wewenang oleh KPK. “Ketentuan tersebut justru untuk mencegah KPK melakukan penyalahgunaan wewenangnya yang sangat besar. Sebagaimana diatur KPK berhak melakukan supervisi terhadap dan mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dari aparat penegak hukum lain. Jika KPK diberikan wewenang untuk mengeluarkan Surat perintah Penghentian Penyidikan terhadap perkara korupsi yang tengah ditangani aparat penegak hukum lain, dikhawatirkan wewenang tersebut dapat disalahgunakan”.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata dalam penjelasannya terkait SP3 ini memaparkan bahwa kesimpulan dari langkah KPK didasarkan pada tidak terpenuhinya syarat perbuatan penyelenggara negara dalam kasus yang dimaksud. Sebelumnya, melalui putusan Kasasi Nomor 1555 K/PID.SUS/2019 tertanggal 9 Juli 2019, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi Terdakwa Syafruddin Arsyad temenggung yang merupakan penyelenggara negara yang terlibat dalam kasus ini. Lewat amar putusan kasasi, MA melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya.

Menurut Alexander Marwata, penerbitan SP3 oleh KPK dalam kasaus ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK di mana KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi, yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Namun sebagaimana yang diatur dalam ayat (4) pasal yang sama, penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut dapat dicabut oleh pimpinan KPK, jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional