Mewujudkan Gagasan Single Bar Indonesia
Pojok PERADI

Mewujudkan Gagasan Single Bar Indonesia

Single bar tidak lagi berada pada tataran ‘gagasan, pemikiran, atau ide’, tetapi sudah dalam tataran ‘amanat undang-undang’, dalam hal ini Pasal 32 ayat 4 dan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 5 Menit
 Ki-ka: Ketua Harian R. Dwiyanto Prihartono,S.H., M.H.; Ketua Umum Prof. Dr. Otto Hasibuan,  S.H., M.M.; dan Sekretaris Dewan Pembina Peradi, Dr. Adardam Achyar,S.H., M.H. Foto: istimewa.
Ki-ka: Ketua Harian R. Dwiyanto Prihartono,S.H., M.H.; Ketua Umum Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M.; dan Sekretaris Dewan Pembina Peradi, Dr. Adardam Achyar,S.H., M.H. Foto: istimewa.

Sekretaris Dewan Pembina Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Dr. Adardam Achyar, S.H., M.H., menjadi salah satu narasumber seminar nasional bertema ‘Mewujudkan Single Bar Indonesia’ yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Nasional pada Kamis (18/11).  Menurutnya, single bar tidak lagi berada pada tataran ‘gagasan, pemikiran, atau ide’, tetapi sudah dalam tataran ‘amanat undang-undang’, dalam hal ini Pasal 32 ayat 4 dan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

 

“Keharusan adanya satu organisasi advokat dalam kehidupan berorganisasi, berhukum, dan bernegara dalam wilayah Negara Republik Indonesia saat ini sudah merupakan perintah dari hukum positif (ius constitutum), tidak lagi dalam kerangka hukum yang dicita-citakan (ius constituendum),” kata Adardam.

 

Ia menjelaskan, latar belakang, maksud, tujuan, serta landasan filosofis, sosiologis, maupun yuridis ketentuan Pasal 32 ayat (4) dan Pasal 28 ayat (1) UUA yang ada telah mengamanatkan dibentuk dan adanya satu organisasi advokat. Hal ini sudah dibahas dan diperdebatkan saat pembahasan RUU Advokat dan dapat dilihat dari Risalah Rapat Pembahasan UUA.

 

Dalam beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi telah melahirkan kaidah-kaidah hukum, antara lain dalam Putusan Perkara No. 014/PUU-IV/2006, bahwa Peradi adalah satu-satunya organisasi advokat sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUA. Pada beberapa putusan berikutnya Mahkamah Konstitusi juga telah memberikan dudukan konstitusional dan tafsir konstitusional tentang konstitusionalitas Peradi sebagai organisasi advokat yang dimaksud UU Advokat.

 

“Sekiranya saja masih ada pihak yang ingin memperdebatkan konstitusionalitas pembentukan, keberadaan, dan kewenangan Peradi tentunya dapat membaca putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat diakses setiap waktu pada website resmi Mahkamah Konstitusi RI," Adardam melanjutkan.

 

Adapun selanjutnya ia menyebutkan bahwa sesungguhnya, bagi Peradi di bawah kepemimpinan Ketua Umum Prof. Otto Hasibuan, S.H., M.H. dan Sekretaris Jenderal Dr. Hermansyah Dulaimi, S.H., M.H.; perdebatan tentang Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat sebagaimana diperintahkan oleh UUAdvokat adalah sesuatu yang ‘telah selesai’.

 

Peradi sebagai Satu-satunya Organisasi Advokat

Sebelum terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015, pemerintah/eksekutif, legislatif, serta yudikatif telah mengakui dan menerima keberadaan Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat dengan segala kewenangannya yang diberikan oleh UU Advokat. Beberapa bukti yang disampaikan Adardam, antara lain melalui:

 

  • Surat Mahkamah Agung No. 07/SEK/01/I/2007 tanggal 11 Januari 2007 yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi Banding di seluruh Indonesia, perihal sosialisasi KTPA baru; dalam hal ini sosialisasi KTPA yang diterbitkan Peradi. Hanya Peradi satu-satunya organisasi/pihak yang berwenang menerbitkan KTPA.
  • Surat Edaran Mahkamah Agung No. MA/KUMDIL/01/III/K/2007 tanggal 29 Maret 2007 tentang Petunjuk Pengambilan Sumpah Advokat, dalam hal ini pengambilan sumpah atas Advokat yang diangkat Peradi. Dalam surat edaran tersebut, hanya Peradi satu-satunya organisasi/pihak yang berwenang mengajukan penyumpahan advokat kepada pengadilan tinggi.

 

“Dengan kata lain, telah pernah ada fase di mana secara riil–de jure dan de facto-Peradi benar-benar diakui dan diterima sebagai satu-satunya organisasi advokat, yaitu sejak disahkannya UUA pada tanggal 5 April 2003 sampai dengan terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73 Tahun 2015,” ujar Adardam.  

 

Adapun adanya Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73 Tahun 2015 sedemikian rupa telah mendistorsi kedudukan, peran, dan fungsi Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat hingga saat ini. Untuk itu, Adardam mengingatkan, kembali membicarakan gagasan single bar saat ini dapat berarti ada kemunduran dalam cara memikirkan organisasi advokat.   

 

Berbicara tentang organisasi advokat yang dimaksud dalam UUA, yang harus dipahami adalah ketentuan Pasal 1 angka 4 UUA yang berbunyi, ‘Organisasi advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang’. Dalam hal ini, organisasi advokat didirikan berdasarkan UUA Pasal 32 ayat (4) dan Pasal 28 ayat (1), di mana:

 

  • Harus didirikan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya UUA, dan
  • bentuknya harus satu sebagai satu-satunya organisasi advokat. 

 

Berdasarkan poin ini, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi telah memberikan dudukan dan tafsir konstitusional atas konstitusionalitas pendirian, keberadaan, dan kewenangan Peradi sebagai organisasi advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Kewenangan organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam UU di antaranya, mulai dari melaksanakan pendidikan advokat, pengangkatan advokat, hingga pemberhentian advokat. Kewenangan ini hanya dimiliki dan melekat pada organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan dan sesuai dengan UU Advokat, yaitu Peradi. 

 

Dengan terbentuknya PERADI sebagai organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam UUA, advokat Indonesia masih dapat membentuk organisasi advokat sebagai wujud dari kebebasan berserikat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dan diejawantahkan ke dalam UU No. 16 tahun 2017 tentang Penetapan Perppu 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun, organisasi advokat tersebut tidak memiliki wewenang seperti yang dimiliki organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan perintah UUA, dalam hal ini Peradi.

 

Menjadi Organisasi yang Sah

Dengan dinyatakannya ‘sah’ penggugat Ketua Umum DPN Peradi, Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan, S.H., M.H. dan Sekretaris Jenderal DPN Peradi Thomas Tampubolon. S.H., M.H. periode 2015–2020 berdasarkan Keputusan Munas II Peradi di Pekanbaru pada 12–13 Juni 2015; lalu diselenggarakannya Munas Peradi III di Jakarta pada 7 Oktober 2020 dan terpilih Prof. Otto Hasibuan, S.H., M.H. sebagai Ketua Umum DPN Peradi—maka secara hukum Ketua Umum DPN Peradi saat ini yaitu Prof. Otto Hasibuan, S.H., M.M. adalah Ketua Umum DPN Peradi yang sah. Ini karena munas telah diselenggarakan oleh Kepengurusan DPN Peradi yang sah di bawah kepemimpinan Ketua Umum  Prof. Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan, S.H., M.H. dan Sekretaris Jenderal Thomas Tampubolon, S.H., M.H. dengan cara-cara yang sesuai dengan Anggaran Dasar dan Peraturan Rumah Tangga Peradi.

 

Melalui Putusan Mahkamah Agung No. 3085 K/PDT/2021 tanggal 4 November 2021, sudah secara jelas, tegas, terang, dan pasti secara hukum bahwa Peradi yang sah adalah Peradi yang dipimpin oleh Ketua Umum Prof. Otto Hasibuan, S.H., M.M. dan Sekretaris Jenderal Dr. Hermansyah Dulaimi, S.H., M.H. Adapun sebagai perhimpunan dan organisasi advokat yang didirikan berdasarkan perintah UUA, secara hukum, tidak mungkin dan tidak boleh ada lebih dari satu peradi yang sah.

 

“Menyatakan sah Penggugat Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan, S.H., M.H. dan Thomas Tampubolon, S.H., M.H., masing-masing adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) Periode 2015 – 2020 berdasarkan Keputusan Musyawarah Nasional II Peradi di Pekanbaru pada tanggal 12 – 13 Juni 2015, maka perdebatan tentang Peradi mana yang sah harus sudah diakhiri dan berakhir secara hukum,” sebagaimana pokok putusan pengadilan yang berkekuatan tetap tersebut.

 

Mewakili DPN Peradi, Adardam berharap, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tersebut memberi kepastian bahwa Peradi yang sah, adalah Peradi yang dipimpin oleh Ketua Umum Prof. Otto Hasibuan, S.H., M.M. dan Sekretaris Jenderal Dr. Hermansyah Dulaimi, S.H., M.H.

 

“Sebagai konsekuensi dan implementasi dari Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan amanat dan sesuai dengan UUA, kami membuka pintu seluas-luasnya kepada seluruh advokat yang saat ini masih belum menjadi Anggota Peradi  untuk kami terima sebagai anggota Peradi. Saat ini DPN Peradi sedang menyusun peraturan terkait dengan mekanisme penerimaan anggota Peradi untuk advokat yang berasal dari anggota di luar Peradi,” Adardam melanjutkan.

 

Pada saat yang sama, DPN Peradi juga mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut dan atau setidaknya menyatakan tidak berlaku Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73 Tahun 2015, yang saat ini merupakan prasyarat guna berjalannya fungsi dan kewenangan Peradi sebagai satu-satu organisasi advokat yang diamatkan oleh UU A No. 18 Tahun 2003.

 

Sebagai penutup, Adardam menyampaikan harapan agar seminar nasional dapat membuahkan hasil pemikiran yang obyektif, konstruktif, dan relevan guna kemajuan organisasi advokat dan profesi advokat Indonesia.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Tags:

Berita Terkait