Minimnya Keterlibatan Ilmuwan Sosial dalam Pengambilan Kebijakan Saat Pandemi
Terbaru

Minimnya Keterlibatan Ilmuwan Sosial dalam Pengambilan Kebijakan Saat Pandemi

Agak terpinggirkannya kelompok ilmuwan sosial dalam pengambilan kebijakan tentunya memberi dampak terhadap penanganan pandemi Covid-19 nasional.

CR-28
Bacaan 3 Menit
Panji Anugrah, dari Asia Research Centre-Universitas Indonesia (ARC UI). Foto: CR-28
Panji Anugrah, dari Asia Research Centre-Universitas Indonesia (ARC UI). Foto: CR-28

Sejak Maret 2020, Covid-19 menjadi pandemi global yang menimbulkan efek domino bagi kebijakan berbagai negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional yang bersifat non alam. Keppres tersebut kemudian disusul dengan terbitnya PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang membatasi ruang gerak masyarakat. Hal ini memberi implikasi tidak sekedar krisis sektor kesehatan, tetapi juga telah menjadi krisis multidimensi atau berdampak pada berbagai sektor kehidupan sosial kemasyarakatan.

"Krisis multidimensi itu ditandai dengan respons berbagai kalangan. Termasuk pula para ilmuwan, dalam hal ini ilmuwan social,” ujar Panji Anugrah, dari Asia Research Centre-Universitas Indonesia(ARC UI), dalam pemaparan materi webinar bertajuk “Penelitian Sosial dan Pengambilan Kebijakan di Masa Pandemi”, Jum'at (26/11/2021).

Dia menjelaskan dalam beberapa studi negara lain, ditemukan fakta mengenai ilmuwan sosial. Meski masih ada, tetapi ilmuwan sosial tidak memiliki atau kurang memiliki keterlibatan signifikan dalam kontribusi pengambilan kebijakan. Meski demikian, ilmuwan sosial tetap mencoba untuk melibatkan diri baik secara kolektif melalui asosiasi-asosiasi ilmuwan ataupun secara individual.

Bentuk keterlibatan yang dilakukan ilmuwan sosial juga beragam. Terdapat beberapa yang mengajukan analisis terkait situasi pandemi Covid-19, memberikan rekomendasi kebijakan, juga memberi kritik atas kebijakan yang diterbitkan pemerintah.

"Di masa pandemi ini muncul beberapa kerja sama keilmuan yang sifatnya lintas disiplin. Umumnya, ini dimotori beberapa ilmuwan muda. Beberapa ilmuwan diaspora juga turut melibatkan diri dalam memberikan masukan. Tanpa memberi batasan secara eksklusif, tetapi dengan beraliansi bersama aktivis NGO (Non-Governmental Organization), jurnalis, medical professionals, dan lain-lain. Meski skalanya tidak besar, tapi kita dapat melihat engagement para ilmuwan sosial dalam memberikan respon terhadap situasi pandemi.”

Panji menjelaskan secara umum ditemukan dua orientasi ilmuwan sosial dalam keterlibatan pengambilan kebijakan di era pandemi yaitu orientasi teknokratis dan orientasi kritis. Ilmuwan berorientasi teknokratik biasanya tergabung dalam agensi pemerintahan. Misalnya, satuan tugas sebagai tim ahli.

"Kami melihat fakta unik terkait komposisi satuan tugas. Dalam satu satuan tugas yang terdiri atas 81 ahli, hanya terdapat sekitar 9 orang yang dikategorikan sebagai ilmuwan sosial. Jadi mayoritas diisi oleh life scientist atau health scientist, ilmuwan sosialnya tidak terlalu banyak," ungkapnya.  

Tak sampai disitu, dalam satgas itu sendiri menghadirkan satu unit yang memberikan kontribusi khusus dalam ilmu sosial. Para ilmuwan sosial terhimpun dalam Unit Perubahan Perilaku. Meski tetap dilibatkan, jika dibandingkan dengan kuantitas secara keseluruhan, jumlah ilmuwan sosial masih dapat dihitung dengan jari.

Selain itu, pernah diadakan konsorsium riset dan inovasi untuk Covid-19 oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang telah mendanai riset 293 proposal berbagai universitas di Indonesia. Namun masih saja, ungkap Panji, hanya melibatkan sebagian kecil ilmuwan sosial. Fokus ilmu sosial diarahkan pada dukungan digitalisasi UMKM untuk mendukung pemulihan ekonomi.

"Hal yang tidak kalah menarik, munculnya para ilmuwan sosial kritis yang mengartikulasikan gagasan-gagasan dan kritik kebijakan terhadap penanganan pandemi. Mereka ini relatif tereksklusi dari kanal birokrasi formal. Biasanya memanfaatkan media sosial, webinar, interview, opini media untuk menyuarakan kritik mereka atas kebijakan pemerintah," bebernya.

Beberapa isu yang acap kali dijadikan objek kritik oleh para ilmuwan sosial kritis juga beragam. Diantaranya perihal kebijakan PSBB, lockdown, penggunaan vaksin, kapasitas sistem kesehatan, kondisi kritis rumah sakit dan tenaga kesehatan, juga penyelenggaraan Pilkada (pemilihan kepala daerah) Tahun 2020 yang tidak lepas dari pengamatan para ilmuwan sosial kritis itu.

"Nah, respon pemerintah dengan ilmuwan sosial kritis ini seringkali agak berbeda. Ketika pemerintah sudah merasa terbuka, berbasis pada sains, tapi adakala memandang masukan ilmuwan sosial tidak praktis dan sulit diimplementasikan dalam kebijakan. Tetapi dari kalangan ilmuwan sosial yang kritis sendiri masih menganggap pemerintah belum cukup responsif.”

Peneliti dari ARC UI itu mengingatkan pentingnya bagi ilmuwan untuk belajar dari pengalaman. Sebelumnya telah terdapat beberapa kritik terhadap kalangan ilmuwan sosial sendiri di masa pandemi yang dianggap tidak terorganisir, bersifat sporadik, dan tidak sistematik. Hal ini berdampak pada kontribusi yang mereka berikan tidak maksimal. Untuk itu, penting ke depannya kritik ini dijadikan pembelajaran bagi khalayak ilmuwan sosial Indonesia dalam merespon situasi krisis di masa mendatang.

“Ke depan, penting bagi ilmuwan sosial untuk melakukan reorientasi untuk mencoba lagi membuka area kajian yang relevan di masa krisis. Seperti kebencanaan misalnya resiliency, perilaku kolektif, komunikasi dalam situasi krisis, dan sebagainya. Bagi para pengambil kebijakan tentu penting melihat kembali basis-basis ilmu pengetahuan dalam pembuatan kebijakan," sarannya. 

Tags:

Berita Terkait