Minus Ancaman Pidana, Keharusan Miliki Izin Advokat Berkurang
Berita

Minus Ancaman Pidana, Keharusan Miliki Izin Advokat Berkurang

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan keberlakuan pasal 31 UU No.18/2003 tentang Advokat akan mempengaruhi 'keampuhan' izin advokat. Paling tidak, konsultan hukum di banyak law firm kini boleh jadi tak lagi tertarik untuk segera mengantongi izin tersebut.

Amr
Bacaan 2 Menit
Minus Ancaman Pidana, Keharusan Miliki Izin Advokat Berkurang
Hukumonline

Berbeda dengan mereka yang bergerak di jalur non litigasi, Hadi mengatakan, para pengacara litigasi yang beracara di muka hakim ataupun konsultan hukum pasar modal tetap terikat dengan kewajiban untuk mengantungi izin advokat.

Sementara, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Rudy Satriyo berpendapat bahwa implikasi utama dari tidak berlakunya pasal 31 UU No.18/2003 adalah dosen yang berpraktik sebagai pengacara lembaga konsultasi dan bantuan hukum (LKBH) dapat beracara di pengadilan tanpa perlu mengantungi izin advokat.

Adalah suatu hal positif buat LKBH dengan adanya mata kuliah Praktek Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, PTUN, dan Peradilan Agama karena ke mana tempatnya dia harus berpraktik kalau tidak ke pengadilan, cetus Rudy kepada hukumonline. Namun, Rudy menggarisbawahi perlu ada suatu batasan yang jelas mengenai pihak yang bisa meminta bantuan hukum kepada LKBH.

Tetap perlu izin

Pandangan yang berbeda oleh Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) DPC DKI Jakarta, Humphrey Djemat. Di mata Humphrey, izin advokat tetap diperlukan terlepas dari tidak adanya lagi ancaman pidana di dalam UU No.18/2003. Ditambahkan olehnya, tidak berlakunya pasal 31 juga membuat kewenangan organisasi advokat untuk mengangkat dan memberhentikan advokat menjadi tidak relevan lagi. 

Saya tidak setuju andaikata kemudian dicabutnya pasal 31 terus kemudian dikaitkan dengan proses pengangkatan advokat yang baru ini seolah-olah pengangkatan advokat yang baru ini tidak diperlukan lagi karena sanksinya nggak ada, komentar Humphrey.

Namun, ia mengakui bahwa ketiadaan ancaman pidana di dalam UU No.18/2003 akan membawa keuntungan bagi orang yang bukan advokat tapi mengaku-ngaku sebagai advokat. Kita mesti cari jalan untuk menyikapi ini bagaimana cari jalan keluarnya. Tapi, bagaimanapun juga organisasi advokat ini harus kuat, harus satu supaya bisa bersikap tegas, ujarnya.

Humphrey kemudian menyinggung soal akan dibentuknya wadah tunggal organisasi advokat yang bernama Perhimpunan Advokat Indonesia. Menurutnya, dengan adanya wadah tunggal itu kedudukan organisasi advokat untuk melakukan proses pengangkatan seorang advokat akan lebih kuat.

Demikian rangkuman pendapat yang dikemukakan oleh peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Hadi Herdiansyah kepada hukumonline, pada Kamis (16/12). Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pasal 31 UU No.18/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat menyebabkan pengaturan mengenai perlunya izin untuk berpraktik hukum bagi para advokat menjadi tidak jelas.

Hadi berpendapat, pencabutan pasal 31 UU 18/2003 membawa implikasi adanya pengakuan terhadap mereka yang tidak memegang izin praktik untuk dapat memberikan jasa hukum kepada masyarakat. Menurutnya, implikasi ini hanya akan dinikmati oleh dosen fakultas hukum atau pihak lain yang memberikan jasa hukum secara pro bono, tapi juga konsultan hukum non litigasi.

Konsekuensinya adalah izin menjadi suatu hal yang tidak relevan lagi buat mereka yang ingin menjadi advokat, namun tidak ingin beracara di pengadilan ataupun tidak ingin menjadi advokat pasar modal. Artinya, mereka yang ingin menjadi advokat yang tidak terjun ke litigasi, hanya berpraktik sebatas memberikan jasa-jasa hukum konsultasi di bidang corporate misalnya, maka mereka tidak perlu izin, terang Hadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: