MK Dinilai Abaikan Hak Rakyat Atas Tanah
Berita

MK Dinilai Abaikan Hak Rakyat Atas Tanah

Karena menolak judicial review UU Pengadaan Tanah.

ADY
Bacaan 2 Menit
MK Dinilai Abaikan Hak Rakyat Atas Tanah
Hukumonline

Koalisi organisasi masyarakat sipil yang mengajukan judicial review UU Pengadaan Tanah kecewa atas putusan MK. Salah satu anggota koalisi dari IHCS, Gunawan, menyoroti beberapa hal. Pertama, putusan MK tak mengembalikan sistem hukum agraria kepada peraturan opersional pasal 33 UUD RI 1945 yaitu UU Pokok Agraria. Pasalnya, dalam putusan itu, MK menolak seluruh pasal yang diajukan oleh koalisi.

Ujungnya, UU Pengadaan Tanah tetap berlaku. Kemudian, Gunawan menandaskan putusan MK tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk membuat peraturan perundang-undangan di bawah UU Pengadaan Tanah untuk menjelaskan lebih rinci kalimat "keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan masyarakat." Menurutnya, peraturan yang diamanatkan MK itu akan berbentuk Peraturan Pemerintah.

Gunawan memperkirakan putusan MK tak akan berjalan, karena di pasal 10 UU Pengadaan Tanah sudah menjelaskan kalimat tersebut. Namun, semangat dalam pasal itu dinilai lebih mengutamakan kepentingan investasi ketimbang hak rakyat atas tanah. Sementara, UU Pokok Agraria menjelaskan rumusan yang lebih baik ketimbang pasal tersebut. Karena termaktub penjelasan bagaimana mekanisme yang harus dilakukan pemerintah ketika ingin menggunakan tanah yang dikuasai rakyat untuk pembangunan.

Bagi Gunawan, UU Pokok Agraria tak hanya mengatur soal pembangunan di bidang infrastruktur seperti jalan raya, tapi pertambangan, perkebunan dan persawahan. Paling penting, UU Pokok Agraria dirasa lebih melindungi kepentingan rakyat tak bertanah atau memiliki lahan sedikit. "Harusnya MK perhatikan itu, kembalikan (aturan pengelolaan tanah,-red) ke UU Pokok Agraria," kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (14/2).

Kemudian, Gunawan juga menyorot soal mekanisme konsultasi. Putusan MK, dinilai hanya mengatur konsultasi di tingkat hilir, yaitu ketika pemerintah menggusur tanah rakyat. Padahal, proses konsultasi itu harusnya melibatkan rakyat sejak pemerintah merancang kebijakan pembangunan.

Gunawan menyebut MK hanya memahami konsultasi yang sifatnya terbatas. Yaitu ketika pemerintah bermusyawarah dengan warga terkait pengadaan tanah untuk pembangunan, hasilnya disampaikan kepada gubernur. Ketika gubernur tak sepakat dengan hasil musyawarah itu, maka warga dapat mengajukan gugatan ke PTUN. “Konsultasi yang dimaksud MK hanya itu,” ucapnya.

Mestinya, dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan, Gunawan menandaskan, mekanisme konsultasi yang digunakan adalah musyawarah untuk mufakat. Pasalnya, untuk mengambil alih hak rakyat atas tanah, sifatnya sukarela, tanpa paksaan. Lagi-lagi dia menyebut semangat yang menghormati hak rakyat atas tanah itu tertuang dalam UU Pokok Agraria. “Kalau tak ada kesepakatan, ya musyawarah terus sampai ada mufakat,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait