Moratorium Dinilai Tidak Menyelesaikan Permasalahan Fintech Ilegal
Terbaru

Moratorium Dinilai Tidak Menyelesaikan Permasalahan Fintech Ilegal

Mau ada moratorium atau tidak, fintech ilegal tetap akan beroperasi bila tidak ada penindakan tegas.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustras: HOL
Ilustras: HOL

Moratorium atau penghentian pendaftaran untuk perusahaan teknologi finansial atau financial technology (fintech) dianggap tidak akan menyelesaikan permasalahan fintech ilegal. Diperlukan juga literasi untuk dapat membedakan fintech mana yang legal dan ilegal serta sistem elektronik yang tangguh untuk mencegah penggunaan data untuk menawarkan pinjaman ilegal melalui telepon genggam.

Permasalahan utama ada di fintech ilegal, bukan legal. Mau ada moratorium atau tidak, fintech ilegal tetap akan beroperasi bila tidak ada penindakan tegas.  Apalagi, banyak fintech ilegal beroperasi dengan cara meniru dan menggunakan logo dan nama dari fintech yang terdaftar untuk menarik perhatian calon konsumen,” ujar Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu.

Menurutnya, upaya literasi agar masyarakat dapat mengidentifikasi fintech yang terdaftar dengan yang ilegal perlu ditingkatkan, imbuhnya lebih lanjut. Thomas menambahkan, permasalahan lain yang seharusnya diselesaikan adalah akses fintech ilegal kepada data pribadi individu, seperti nomor telepon, yang digunakan untuk menawarkan pinjaman lewat pesan singkat maupun telpon langsung.

“Penawaran pinjaman kilat melalui pesan singkat sangat masif sekali. Nomor telepon masyarakat tersebar luas dan disalahgunakan untuk menjerat masyarakat ke dalam pinjaman dengan bunga yang tidak wajar,” ujar Thomas, dengan menambahkan bahwa ini membuktikan adanya praktek jual beli data konsumen dan kurangnya perlindungan atas kerahasiaan data tersebut. (Baca: Pentingnya Kesadaran Masyarakat Hindari Jeratan Pinjol Ilegal)

Kerahasiaan data pribadi merupakan perlindungan terhadap privasi konsumen dan merupakan hak subjek data individu. Kerahasiaan ini mengacu pada tujuan pengumpulan data dan pemrosesannya, preferensi kerahasiaan dan cara lembaga mengelola data pribadi. Kerahasiaan data pribadi memberikan kuasa bagi para individu pemilik data tersebut untuk menentukan penggunaan data pribadi mereka.

Banyak kasus telah menunjukkan bahwa kehadiran fintech, utamanya yang berbasis pinjaman/lending, juga diikuti dengan risiko penyalahgunaan data pribadi pengguna layanan. Untuk mengatasi hal ini, sudah seharusnya ada sinergi yang baik antara regulator, pelaku industri fintech dan tentunya kesadaran pengguna layanan itu sendiri.

Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang mengharuskan setiap fintech di Indonesia mencatatkan diri ke OJK secara legal.

Fintech berperan penting dalam percepatan inklusi keuangan dan perannya menjadi semakin penting di masa pandemi karena diterapkannya kebijakan pembatasan sosial dan adanya desakan kebutuhan dana dari kelompok masyarakat yang terkena dampak pandemi. Terbukti bahwa sampai dengan Oktober 2021, industri fintech telah menyalurkan dana pinjaman ke sektor produktif sampai sebesar 114 triliun Rupiah.

“Perlindungan konsumen fintech diperlukan untuk memberikan rasa aman dan menjaga kepercayaan mereka dalam bertransaksi dengan lembaga ini. Rasa aman dan kepercayaan tersebut akan menumbuhkan industri keuangan dan menggerakkan sektor-sektor yang terdampak pandemi lewat skema pinjaman yang diajukan para konsumen,” tegasnya.

Sebelumnya, Kementerian Kominfo dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melakukan moratorium penerbitan izin pinjaman online.  Hal itu sesuai arahan Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki tata kelola pinjol yang ditengarai banyak terjadi penyalahgunaan dan tindak pidana.

“Pertama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melakukan moratorium untuk penerbitan izin fintech atas pinjaman online legal yang baru. Sementara Kominfo juga akan melakukan moratorium penerbitan penyelenggara sistem elektronik untuk pinjaman online yang baru,” kata Menteri Kominfo Johnny G. Plate, di Istana Merdeka Jakarta Jumat (15/10) lalu.

Selain itu, lanjut Johnny, pemerintah akan meningkatkan pengawasan terhadap 107 pinjol legal yang saat ini telah terdaftar resmi dan beroperasi di bawah tata kelola OJK. Menurut data, aktivitas pinjol telah melibatkan 68 juta penduduk dan memiliki perputaran dana atau omset mencapai Rp 260 triliun.

Dijelaskan pula oleh Menteri Johnny, Kementerian Kominfo sejak tahun 2018 hingga 15 Oktober 2021 telah menutup 4.874 akun pinjol ilegal. Untuk tahun 2021 saja, pinjol yang ditutup sebanyak 1.856 akun yang tersebar di website, Google Play Store, YouTube, FaceBook, dan Instagram, serta share link.

Kominfo sendiri telah membentuk Forum Ekonomi Digital Kominfo yang setiap bulan melakukan pertemuan untuk membicarakan pengembangan, peningkatan, dan pemutakhiran ruang-ruang digital. Termasuk pula membicarakan aktivitas pinjol dan penangkalan pinjol tidak terdaftar atau ilegal.

“Sekali lagi, Kominfo akan membersihkan ruang digital, melakukan proses takedown secara tegas dan cepat di saat yang bersamaan. Penegakan hukum oleh Kepolisian RI akan mengambil langkah-langkah tegas atas semua pelaku tindak pidana pinjol tidak terdaftar,” tegas Johnny.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengimbau masyarakat agar memilih penyedia pinjaman yang telah terdaftar secara resmi di OJK. Pihaknya juga telah membuat kesepakatan Bersama Kapolri, Kementerian Kominfo, Gubernur Bank Indonesia, dan Menteri Koperasi dan UKM untuk memberantas pinjol ilegal.

“Kerja sama ini mencakup penutupan platform dan pemrosesan secara hukum. Untuk itu, pemberantasan segera masih menjadi agenda kita bersama, terutama dari OJK, Kapolri dan Kominfo. Hal ini agar masyarakat tidak terjebak terhadap tawaran-tawaran pinjaman oleh pinjol ilegal,” pungkas Wimboh.

Tags:

Berita Terkait