Nasib RUU Jakarta di Tahun Politik
Kolom

Nasib RUU Jakarta di Tahun Politik

Dalam situasi ini, DPR dan pemerintah dihadapkan pada dua opsi. Tiap opsi memiliki tantangan dan kelemahannya sendiri.

Bacaan 5 Menit

Meaningful Participation atau Tunda Pembahasan

Dalam situasi ini, DPR dan pemerintah dihadapkan pada dua opsi. Pertama, DPR dan pemerintah tetap membahas dengan waktu singkat dan sisa energi anggota DPR di tahun politik. Kedua, menunda pembahasan sampai dengan agenda politik nasional selesai. 

Opsi pertama akan memaksa DPR dan pemerintah bekerja super ekstra dalam waktu efektif selama sekitar dua bulan sampai dengan memasuki masa kampanye pemilu pada November 2023. Sedangkan apabila opsi kedua ditempuh maka akan menyebabkan tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 41 ayat (2) UU IKN.

Apabila dicermati, nampaknya opsi pertama yang akan dipilih oleh DPR. Opsi ini akan mengorbankan partisipasi masyarakat mengingat waktu yang singkat. Tidak hanya soal pemenuhan aspek formil proses legislasi, akan tetapi ketiadaan partisipasi juga akan mempengaruhi penjaringan aspirasi masyarakat. Substansi pengaturannya akan memiliki kelemahan. Aspek pengaturan Jakarta dengan penerapan desentralisasi asimetris sebagai pusat ekonomi dan bisnis serta kota global memiliki jangkauan yang sangat luas. Setidaknya meliputi kedudukan otonomi Jakarta, kewenangan terkait kekhususan, struktur pemerintahan, politik, hukum, sosial dan budaya, keuangan daerah dan termasuk pengaturan kawasan aglomerasi (Bodetabek) yang juga memiliki relasi yang sangat kuat dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan dengan Jakarta.

Tantangan dari sisi substansi ini mengharuskan DPR dan pemerintah mengalokasikan waktu yang lebih banyak dengan penerapan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) untuk membahas undang-undang Jakarta. Apabila dipaksakan, DPR dan pemerintah harus sadar penuh konsekuensi atas hal ini sehingga komitmen kelembagaan dan individu anggota untuk menjalankan proses legislasi dengan transparan, akuntabel dan partisipatif mutlak diperlukan. Tanpa komitmen tersebut, langkah terbaik bagi penentuan nasib Jakarta ke depan adalah menunda pembahasan RUU Jakarta di tahun politik ini.

*)M Nur Sholikin, Peneliti PSHK dan Pengajar STH Indonesia Jentera.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait