OC Kaligis Persoalkan Aturan Remisi ke MK
Terbaru

OC Kaligis Persoalkan Aturan Remisi ke MK

OC Kaligus meminta Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan harus dimaknai berlaku untuk seluruh narapidana, dengan syarat berkelakuan baik, sudah menjalani masa pidana sedikit-dikitnya 6 bulan, tidak dipidana dengan pidana penjara seumur hidup, dan tidak dipidana dengan hukuman mati.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit

Pemerintah menekankan pada unsur balas dendam, khususnya pada tindak pidana tertentu yang salah satunya adalah tindak pidana korupsi. Pendekatan unsur balas dendam tersebut menunjukan pemerintah masih berpedoman pada ciri khas doktrin sistem pemenjaraan yang berlaku dalam hukum kolonial Belanda. 

“Pemohon menganggap PP 99/2012 bertentangan dengan Rumusan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” sebutnya.  

Dalam petitumnya, OC Kaligis meminta MK menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai pemberian remisi berlaku secara diskriminatif. Kalaupun keberadaan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan dipandang perlu utuk dipertahankan, maka harus dimaknai bahwa pemberian remisi tersebut berlaku secara umum tanpa diskriminasi.

Ia juga meminta Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan harus dimaknai berlaku untuk seluruh narapidana, dengan syarat berkelakuan baik, sudah menjalani masa pidana sedikit-dikitnya 6 bulan, tidak dipidana dengan pidana penjara seumur hidup, dan tidak dipidana dengan hukuman mati.

Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta pemohon untuk mempertegas kedudukan hukum dan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami. 

“Kedudukan hukum, ya, mungkin dipertegas betul apa causal verband adanya hubungan sebab-akibat, kerugian yang dialami, atau potensial dialami pemohon dengan keberlakuan pasal yang dimohonkan pengujiannya. Nampaknya ini belum ditulis, bahkan yang disampaikan intinya tadi, ya menjadi lebih jelas, tapi sekali lagi ini perlu dituangkan dalam permohonan ini,” saran Wahiduddin. 

Senada, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh meminta pemohon untuk menguraikan hak konstitusional yang dirugikan. “Mungkin perlu juga nanti Pak OC untuk menguraikan hak-hak konstitusional apa yang dilanggar dan kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau potensial. Karena apa yang dalam permohonan ini lebih terkesan pada implementasinya. Mungkin itu perlu diperkuat supaya bisa meyakinkan hakim. Kemudian dalam permohonan ini belum adanya kalimat konklusi yang menyimpulkan bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing mengajukan permohonan ini. Itu supaya nanti dipertegas dalam perbaikan permohonan nanti,” jelas Daniel. 

Untuk diketahui, Majelis kasasi yang terdiri atas Artidjo Alkostar, Abdul Latief dan Krisna Harahap pada 10 Agustus 2016 memperberat vonis terhadap OC Kaligis yang awalnya divonis 7 tahun penjara di tingkat banding menjadi 10 tahun penjara di tingkat kasasi. Majelis juga menambah denda yang harus dibayar OC Kaligis dari Rp300 juta menjadi Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia pun sudah mendekam di Lapas Sukamiskin Bandung sejak 11 Agustus 2016.

Tapi putusan kasasi itu dibatalkan Majelis Hakim peninjauan kembali (PK) dengan membatalkan putusan kasasi MA bernomor 1319 K/Pid.Sus/2016 tanggal 10 Agustus 2016 yang membatalkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi Jakarta No.14/Pid/TPK/2016/PT.DKI tanggal 19 April 2016 yang mengubah Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 89/Pid.Sus/TPK/ 2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 17 Desember 2015.

Dalam putusan PK pada Oktober 2018, OC Kaligis diperingan hukumannya dari 10 tahun menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta dalam kasus korupsi (suap) yang membelitnya. Apabila pidana denda tidak dibayar, maka dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama 4 bulan. Permohonan PK bernomor 176 PK/PID.SUS/2017 ini diputus oleh M. Syarifuddin sebagai ketua majelis beranggotakan Surya Jaya dan Leopold Luhut Hutagalung.

OC Kaligis terbukti menyuap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan Tripeni Irianto Putro dan pihak lain melalui anak buahnya M. Yagari Bhastara Guntur alias Gerry. Dalam kasus ini, Tripeni selaku ketua majelis hakim PTUN Medan menerima uang suap sebesar 5 ribu dolar Singapura dan 15 ribu dolar AS; 2 anggota majelis hakim yakni Dermawan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing 5 ribu dolar AS; serta Syamsir Yusfan selaku Panitera PTUN Medan sebesar 2 ribu dolar AS, sehingga totalnya 27 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura.

Tags:

Berita Terkait