Omnibus Law Perpajakan Bakal Intervensi Aturan Pajak di Daerah
Berita

Omnibus Law Perpajakan Bakal Intervensi Aturan Pajak di Daerah

Tarif range rate disebut lebih ideal untuk sistem otonomi daerah, asalkan tarif harus dihitung ulang agar tidak mendistorsi kegiatan investasi.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Terkait insentif pajak daerah dari Pemda, Direktur P2 Humas Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), Hestu Yoga Saksama mengungkapkan jika RUU Omnibus Law Perpajakan akan mengatur besaran tarif pajak yang sama atau fix rate. Hal tersebut bertujuan untuk mensinkronkan besaran pajak antara satu daerah dengan daerah lain, dan antara pusat dan daerah guna mendukung investasi

 

Pemerintah kemudian akan mereview pajak daerah yang dinilai menghambat investasi. Tak main-main, pemerintah berencana juga akan menerapkan sanksi pengurangan dana transfer daerah bagi Pemda yang tidak mengikuti aturan di RUU Omnibus Law perpajakan.

 

“Terkait daerah salah satu omnibus law perpajakan ada isu mengenai pajak di daerah. Selama ini ada pajak daerah tapi tidak konsisten antara daerah satu dan yang lain, atau pusat dengan daerah tidak sinkron. Walaupun ada ruang boleh penerapan pajak maksimal 75 persen di daerah. Tetapi omnibus law perpajakan dapat menerapkan tarif pajak yang berbeda, ada sinkronisasi dan intervensi untuk mendukung investasi,” kata Yoga beberapa waktu lalu.

 

Sementara itu Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng menyampaikan bahwa perpajakan di era otonomi daerah mulai diterapkan sejak UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan  UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Distribusi Daerah  diterbitkan.

 

UU tersebut memberikan diskresi kepada Pemda untuk memberlakukan tarif akhir pajak sesuai dengan kebijakan atau pertimbangan dari daerah masing-masing. Dalam aturan ini pemerintah pusat hanya mengatur range tarif minimal dan maksimal. Hal ini, lanjut Robert, baik untuk daerah karena membuka ruang untuk menarik investasi dan berkompetisi untuk bersaing guna memaksimalkan pendapatan daerahnya.

 

Namun faktanya, kebijakan itu tidak berlaku optimal. Pada jenis pajak tertentu, kompetisi nyaris tidak terjadi. Misalnya saja pengurangan pajak BPHTB yang mengatur pengurangan NJOP PTKP minimal Rp60 juta. Mayoritas daerah memakai tarif yang sama yakni angka minimal Rp60 juta, sementara hanya ada satu daerah yang menggunakan tarif berbeda hingga Rp75 juta.

 

“Buat dunia usaha itu nilainya tidak selalu signifikan. Yang begini membuat pemerintah pusat mempertimbangkan menetapkan tarif fix rate,” kata Robert kepada Hukumonline, Kamis (2/1).

Tags:

Berita Terkait