Pahami 5 Hal Berikut Agar Pelaku Usaha Tak Langgar UU Jaminan Produk Halal
Utama

Pahami 5 Hal Berikut Agar Pelaku Usaha Tak Langgar UU Jaminan Produk Halal

Ada peluang besar dalam proyeksi bisnis global produk halal di Indonesia.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Diskusi tentang UU JPH di Jakarta. Foto: NEE
Diskusi tentang UU JPH di Jakarta. Foto: NEE
Dengan dilantiknya Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), pengaturan produk halal berdasarkan UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) telah memasuki babak baru. Jika sebelumnya sertifikasi halal sekadar pilihan bagi pelaku usaha, UU JPH mewajibkan seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Namun pelaku usaha tidak perlu khawatir, seperti disebutkan pula dalam UU JPH, kewajiban ini pada dasarnya untuk meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha atas produknya di tengah pasar kalangan muslim dalam dan luar negeri yang semakin berkembang.
Cholil Nafis, dosen Ekonomi dan Keuangan Syariah pada program Pascasarjana Universitas Indonesia mengungkapkan, potensi bisnis halal global terus meningkat dalam berbagai barang konsumsi. Sebagai negara yang menampung 3% dari total populasi muslim dunia, Nafis yakin pelaku usaha di Indonesia tidak perlu merasa terbebani dengan kewajiban sertifikasi halal produk. 
“Saya ajak lihat tidak dari sisi syariah Islam, harus dilihat sebagai peluang ekonomi,” katanya. (Baca Juga: Hati-hati!! Mulai 2019 Produsen Bisa Terjerat Pidana Karena Masalah Sertifikat Halal Produk)
Hal senada yang diungkapkan Direktur Eksekutif International Trade Center, Arancha Gonzales. Menurutnya, kalangan muslim adalah segmen konsumen yang tengah berkembang cepat untuk menjadi peluang berharga di kalangan industri. 
Nafis menjelaskan, data Global Islamic Economy Report 2016/17 mencatat bahwa belanja penduduk muslim global pada produk dan jasa sektor ekonomi halal mencapai lebih dari AS$1,9 triliun pada tahun 2015. Ia melanjutkan bahwa sektor makanan dan minuman halal (halal food) diproyeksikan akan tumbuh 5,8 persen hingga mencapai AS$1.585 miliar pada 2020. Sektor travel, kontribusinya sebesar AS$142 miliar dan diproyeksikan akan tumbuh hingga mencapai AS$233 miliar.
Kriteria sertifikasi halal sendiri sebenarnya cukup sederhana dan mudah berdasarkan UU JPH. Pertama, harus dipahami bahwa UU JPH tidak mewajibkan bahwa seluruh produk yang beredar harus halal sesuai ajaran Islam. Ada pengecualian yang diatur dengan tegas bahwa pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan baku yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Artinya hanya yang berbahan dasar halal saja yang wajib disertifikasi.
Kedua, sejak awal dalam UU JPH ditegaskan bahwa yang disertifikasi adalah bahan dan proses produksi dari produk. Di luar dari kedua hal tersebut bukan menjadi objek pengujian halal yang disertifikasi. Mengenai bahan baku, akan diatur lebih lanjut daftarnya melalui penetapan Menteri Agama berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Oleh karena itu sejak awal pelaku usaha dapat menilai sendiri apakah produknya menjadi objek sertifikasi halal atau bukan. Apalagi secara umum kriteria bahan yang halal telah disebutkan dalam UU JPH pada Pasal 17 hingga Pasal 20.
Ketiga, mengenai proses produksi hanya akan menguji agar lokasi, tempat, dan alat produksi wajib terpisah dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk tidak halal. Kriterianya ada tiga yaitu dijaga kebersihan dan higienitasnya; bebas dari kontaminasi najis sesuai ajaran Islam; dan bebas dari kontaminasi bahan tidak halal.
Keempat, semua proses sertifikasi halal akan mengandalkan pada tahap awal berkas tertulis yang diajukan. Jika berkas lengkap, BPJPH akan mengirimkan auditor halal untuk menguji langsung di lokasi produksi sesuai berkas. Selama tidak ada perbedaan data yang tertera dalam berkas dengan yang ditemukan oleh auditor halal, maka proses uji halal produk akan berjalan lancer.
Kelima, bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) akan dimudahkan dengan fasilitas pendampingan khusus oleh Halal Center yang dapat dibentuk oleh LSM atau perguruan tinggi sehingga tidak akan membebani biaya sertifikasi. Logo halal sendiri akan berlaku selama 4 tahun dengan pemeriksaan berkala oleh auditor halal.
Nafis menambahkan penjelasannya bahwa dalam statistik, Indonesia sendiri menempati peringkat pertama sebagai konsumen terbesar produk halal pada sektor makanan dan minuman sebesar AS$155 miliar. Bahkan di skala internasional, ia mengatakan, Canadian Agri-Food Trade Service Report (2008) juga menunjukkan bahwa adanya permintaan yang pesat pada produk halal oleh negara-negara non-muslim. 
Penjualan makanan halal di Moscow, Rusia dari AS$45 juta tahun 2004 meningkat menjadi AS$100 juta pada tahun 2008. Sedangkan menurut Islamic Food and Nutrition Council of America, penjualan produk-produk halal akan mencapai angka AS$20 miliar tahun 2017. Sejak tahun 2010 lalu angka penjualan mengalami kenaikan 1/3, atau rata-rata 6 % per tahun.
Jadi, tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia memiliki daya tarik internasional pariwisata halal kalangan muslim dunia dengan segala jaminan produk halal yang tersedia, bukan?
Tags:

Berita Terkait