Panelis Debat, dari Pakar Hingga Rohaniwan
Berita

Panelis Debat, dari Pakar Hingga Rohaniwan

Salah satu panelis akan mengangkat isu perempuan.

RIA
Bacaan 2 Menit
Peneliti Senior Bivitri Susanti dan Pakar HTN Jimly Asshiddiqie. Foto: RES (Edit)
Peneliti Senior Bivitri Susanti dan Pakar HTN Jimly Asshiddiqie. Foto: RES (Edit)
Acara debat calon Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang akan diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Indonesia Jentera School of Law (IJSL) dan Hukumonline (www.hukumonline.com) menawarkan konsep yang tidak biasa.

Nantinya di acara debat, para kandidat tidak hanya akan saling adu visi, misi, dan program. Panitia acara debat telah menyiapkan sebuah konsep, dimana terdapat tim panelis yang akan mengajukan pertanyaan kepada masing-masing kandidat.

Direktur Riset dan Reformasi Kelembagaan PSHK M Nur Sholikin mengatakan panitia telah meminta kesediaan tiga orang panelis. Mereka adalah Pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie, Peneliti Senior Bivitri Susanti, dan Rohaniwan yang juga akademisi RomoDr AndangListya Binawan.

“Tiga orang itu kami pandang mempunyai kapasitas untuk menanyakan isu-isu mengenai integritas, kapasitas, dan kemampuan manajemen organisasi. Tentu selain memang mereka latar belakangnya juga dari hukum,” tutur Sholikin, Jumat (13/3).

Menurut Sholikin, ketiga orang yang dipilih itusangat memahami dinamika dunia advokat Indonesia dan penegakan hukum secara umum. Merunut satu persatu panelis, Sholikin menyebut keberadaan Prof Jimly diharapkan menggali pemikiran para kandidatseputar konsep penegakan hukum yang ideal dan akses terhadap keadilan.

Lalu, Bivitri selaku peneliti senior PSHK diharapkan menggali pandangan para kandidat terkait peran organisasi advokat, khususnya PERADI dalam konteks penegakan hukum. Sementara, Romo Andang diharapkan menggali pemikiran kandidat terkait penegakan kode etik advokat.

Terkait Romo Andang, hukumonline mencatat akademisi Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya itu pernah menjadi anggota Majelis Kehormatan Daerah PERADI untuk menangani beberapa kasus dugaan pelanggaran kode etik advokat. Beberapa kasus itu antara lain kasus Todung Mulya Lubis yang diadukan oleh Hotman Paris Hutapea, dan kasus Virza Roy Hizzal yang adukan PT Jurnalindo Aksara Grafika.

Dihubungi melalui sambungan telepon, Bivitri yang akrab disapa Bibip, mengatakan dirinya bersedia menjadi panelis debat karena concern terhadap reformasi dunia hukum di Indonesia. Menurut Bibip, advokat seharusnya memiliki peran yang besar dalam reformasi hukum, tetapi sayangnya belum terlihat hingga saat ini.

“Profesi advokat kan selama ini sebenarnya luar biasa penting ya dalam dunia hukum Indonesia. Tapi terus terang saja, belum banyak berperan terutama organisasinya sendiri. Dalam hal ini ya PERADI yang saya maksud,” paparnya.

Sebagai perbandingan, Bibip menyebut di beberapa negara, bar association (organisasi advokat) berperan dalam mendorong terwujudnya reformasi hukum. Organisasi advokat, kata Bibip, seyogyanya harus merasa bertanggung jawab jika sistem hukum di negaranya masih buruk.

“Sehingga biasanya mereka berkontribusi di situ (reformasi hukum) itu luar biasa. Kasih masukan untuk reformasi peradilan dan lain sebagainya. Nah Indonesia kan belum,” imbuhnya

Bibip memandang pergantian nahkoda PERADI adalah momentum yang sangat baik untuk kalangan advokat mulai memikirkan peran mereka untuk reformasi hukum. Kebetulan, Bibip mengaku sedang menyusun disertasi tentang peran legal reform NGO dalam membentuk rule of law pasca era Presiden Soeharto.

“Karena selama ini kerja saya di dunia reformasi hukum ini, saya ingin mulai memperkenalkan bahwa sebenarnya PERADI sebagai wadah profesi advokat bisa dan harusnya memerankan peran yang lebih daripada yang sudah ada selama ini,” ujar Bibip.

Spesifik, Bibip mengaku akan mengangkat isu terkait perempuan. Selama ini, Bibip melihat laki-laki cukup dominan di dunia hukum dan politik dibandingkan perempuan. Menurut Bibip, tanpa bermaksud membuat dikotomi laki-laki dan perempuan, penegakan hukum juga harus sensitif terhadap isu-isu perempuan.

“Bukan cuma soal kuantitas, banyaknya lawyer perempuan dibanding lawyer laki-laki. Kita kan sudah beyond itu, itu sudah lewat lah. Kita sekarang mesti mikirin gimana caranya supaya PERADI juga bisa punya peran supaya penegakan hukum itu sensitif terhadap perempuan.”

Tags:

Berita Terkait