Pansus RUU Terorisme Diminta Abaikan Surat Panglima TNI
Pembahasan RUU:

Pansus RUU Terorisme Diminta Abaikan Surat Panglima TNI

Pelibatan TNI dalam menangani terorisme tidak perlu dimasukan dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, cukup merujuk UU TNI.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Direktur Eksekutif LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, berpendapat setiap pihak bisa memberi usulan terhadap RUU yang dibahas DPR, apalagi TNI menjadi salah satu mitra kerja Komisi I. Namun, rekomendasi itu harusnya tidqk langsung disampaikan TNI kepada Pansus RUU Terorisme tapi melalui otoritas sipil yakni Kementerian Pertahanan.

Bagi Alghif sangat berbahaya ketika tentara diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan terhadap terduga pelaku terorisme. Misalnya, saat terjadi salah tangkap, bagaimana korban meminta pertanggungjawaban melalui mekanisme peradilan? Sampai saat ini UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi sehingga anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum tidak bisa di adili di peradilan umum. Lain halnya jika perkara salah tangkap itu dilakukan aparat kepolisian, korban bisa mengajukan langkah hukum ke pengadilan melalui mekanisme pra peradilan. "Jika nanti terjadi salah tangkap oleh tentara, bagaimana korban mendapat keadilan?," tukasnya.

Korban Terorisme

Peneliti ICJR, Ajeng Gandhini, menyoroti usulan TNI mengenai tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme melalui OMSP dengan pencegahan, penindakan, dan pemulihan berkoordinasi dengan BNPT dan/atau kementerian/lembaga terkait. Dia mengingatkan korban terorisme bukan saja langsung tapi juga tidak langsung seperti korban salah tangkap. ICJR mencatat jumlah kasus salah tangkap selama 2016 ada 3 kasus. Belum lagi korban extra judicial killing, jumlahnya mencapai lebih dari 100 orang. "Usulan TNI ini  fokus pada pemulihan kondisi dan situasi bukan korban," paparnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif AIDA, Hasibullah Sastrawi, mengapresiasi dan mendukung pemerintah yang mulai memberikan perhatian terhadap pemenuhan hak-hak korban terorisme baik medis dan psikologis. Pemenuhan hak korban itu perlu diamanatkan dalam RUU Terorisme dan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Hasibullah berharap RUU Terorisme memperkuat pemenuhan hak korban seperti kompensasi yang selama ini belum berjalan dengan baik. Pelaksanaan kompensasi bagi korban terorisme layaknya tidak menggunakan mekanisme putusan pengadilan tapi melalui putusan lembaga negara yang terkait baik itu LPSK atau BNPT. "Sehingga para korban bisa mendapatkan hak kompensasi secara mudah dan dalam waktu secepatnya," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (25/1).

Penting juga RUU Terorisme memuat pasal yang memerintahkan penanganan medis secara cepat di RS terdekat tanpa khawatir biayanya karena itu ditanggung penuh pemerintah. Dalam pemenuhan hak korban, antar lembaga negara harus bersinergi dan bekerjasama secara baik.

Tags:

Berita Terkait