Permasalahan pinjaman online atau financial technology peer to peer lending (fintech P2P) kian hari terus menjadi sorotan publik. Terakhir, permasalahan fintech ini bahkan merenggut nyawa nasabah yang memilih bunuh diri akibat depresi karena penagihan pinjaman tersebut. Sayangnya, penyelesaian hukum permasalahan ini masih minim sehingga kasus-kasus serupa terus bermunculan.
Bentuk pelanggaran perusahaan fintech ini juga beragam jenisnya. Mulai penagihan intimidatif, penyebaran data pribadi hingga pelecehan seksual diduga terjadi dalam persoalan ini. Ragam dugaan pelanggaran tersebut salah satunya bersumber dari hasil laporan pengaduan masyarakat yang diterima Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sejak tahun lalu.
LBH Jakarta mencatat sebanyak 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online. Pelanggaran-pelanggaran tersebut sebagai berikut:
|
Pengacara publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sirait menjelaskan setiap bentuk pelanggaran fintech legal maupun ilegal seharusnya menjadi tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Itu (pelanggaran) tanggung jawab OJK bahwa UU OJK pasal 4,5 dan 6 mengatur itu. Jadi kalau dibilang aspek hukum apa menjerat pinjol tersebut jelas OJK sendiri punya aturan ke sana, baik dia terdaftar atatu tidak,” jelas Jeanny kepada hukumonline, Selasa (19/2).
(Baca Juga: Gagal Bayar Pinjaman Fintech, Bisakah Dikenakan Pidana?)
Lebih lanjut, Jeanny juga menjelaskan terdapat aturan lain bagi perusahaan fintech yang terbukti melakukan pelanggaran hukum. Misalnya, dia menjelaskan bagi perusahaan fintech yang melakukan pelanggaran berupa penyeberan data pribadi dapat dikenakan Pasal 32 juncto (jo) Pasal 48 UU No. 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kemudian, pengancaman perusahaan fintech terhadap nasabah dapat dijerat dengan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 29 jo Pasal 45B UU ITE.
“Mesti dilihat dahulu bentuk pelanggaran seperti apa yang dapat disesuaikan dengan jeratan hukumnya. Hampir semua mengadu pada kami di awal-awal pelaporan korban mengaku depresi yang penyebabnya karena intimidasi,” jelas Jeanny.