Penasehat Hukum Joko S. Tjandra Dinilai Salah Persepsi
Berita

Penasehat Hukum Joko S. Tjandra Dinilai Salah Persepsi

Jakarta, hukumonline. Jaksa Penuntut Umum menilai penasehat Joko S. Tjandra, salah satu aktor Kasus Bank Bali, salah persepsi menafsirkan perbuatan melawan hukum. Jaksa tetap pada tuntutannya semula.

Tri/APr
Bacaan 2 Menit
Penasehat Hukum Joko S. Tjandra Dinilai Salah Persepsi
Hukumonline

Sidang pada Senin (14/8) dipimpin oleh Soedarto, SH dengan Jaksa Penuntut Umum Antasari Azhar, SH. Pada saat pembacaan replik, terdakwa tidak didampingi oleh Penasehat Hukumnya, OC Kaligis, tapi hanya didampingi oleh John Waris

Pada sidang hari ini pihak penuntut umum membacakan replik atas pledooi yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa, Joko S. Tjandra. Di dalam repliknya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membaginya dengan sitematika: Bab 1 pendahuluan, Bab 2 tanggapan atas unsur-unsur tindak pidana korupsi, Bab 3 tanggapan atas fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Bab 4 tanggapoan atas asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi), Bab 5 kesimpulan, dan terakhir penutup.

Di dalam tanggapannya atas unsur-unsur tindak pidana korupsi, JPU menganggap cara berpikir penasehat hukum telah keliru dan bertentangan dengan hukum pembuktian berkaitan dengan "barang siapa" pada Pasal 1 ayat 1 sub a Undang-undang No. 3 Tahun 1971.

Tanggapan JPU terhadap dalil penasehat hukum yang membantah pengertian melawan hukum. Menurut JPU, berdasarkan penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a Undang-undang No. 3 Tahun 1971 yang berbunyi: "Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan."

Perkataan "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2), yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Sementara yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam bidang kewenangannya seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.

Menggunakan kekuasaan

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa fakta-fakta yang terungkap jelas terlihat aktivitas terdakwa, khususnya telah mempergunakan kekuasaan atau pengaruh. Terdakwa mengadakan pertemuan pada 11 Februari 1999 di Hotel Mulia yang dihadiri PT Bank Bali, pejabat otoritas moneter dan pejabat yang tidak termasuk otoritas moneter. Akibat pertemuan tersebut, terjadi perubahan sikap dari pihak otoritas moneter (BPPN dan BI) yang tadinya menolak klaim PT Bank Bali selanjutnya memproses dan dilanjutkan dengan pencairan.

Sementara perbuatan terdakwa yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dibantah oleh penasehat hukum. JPU dalam repliknya memperlihatkan bahwa rekening PT Bank Bali maupun terdakwa telah bertambah. Dana yang berasal dari nomor rekening 502.000.002 ditransfer BI melalui Bank Bali.

Dana tersebut merupakan dana yang diambil atas nama bendaharawan negara untuk obligasi dalam rangka penjaminan. Dana tersebut ditransfer kepada Bank Bali yang melanggar persyaratan yang diatur dalam Kepmenkeu No. 26 Tahun 1998 dan SKB 1 serta SKB 2 tanpa dilakukan verifikasi terhadap transaksi-transaksi yang dijaminkan.

Fakta-fakta yang terungkap di persidangan juga mendukung. Saksi Pande N. Lubis, Hifni Arkian, Syahril Sabirin, Elvina Simatupang, Toto Budiarso, Indera Rastiko, dan Sunyoto dalam kesaksiannya di persidangan mengatakan bahwa atas BDNI belum dilakukan verifikasi terhadap kewajibannya yang merupakan transaksi swap dan money market terhadap Bank Bali, tetapi hanya berupa rekonsiliasi terhadap transaksi swap dan money market antara BDNI dan Bank Bali tidak dijamin dalam program penjaminan.

Berdasarkan keterangan dari saksi ahli, Amin Sunaryadi, Toto, dan FX Edgar Affandi bahwa rekonsiliasi hanya merupakan bagian dari verifikasi. Oleh karena itu program penjaminan belum dilakukan terhadap BDNI.

Kerugian negara

Dalam repliknya, JPU berdasarkan fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp.904.642.428.369.

Uang tersebut ditransfer ke rekening PT EGP dan rekening terdakwa. Menurut replik terdakwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, jenis-jenis kewajiban BDNI yang berupa transaksi swap dan money market tidak dijaminkan oleh pemerintah karena hal tersebut tidak memenuhi ketentuann dalam Kepmenkeu dan SKB 1 dan SKB 2.

Hal ini didasarkan atas kesaksisan dari saksi ahli Amin Sunaryadi di muka persidangan. Namun tim pembela berkeberatan terhadap kesaksian saksi ahli Amin di dalam pledooinya yang menyebutkan bahwa saksi ahli tersebut tidak independen, tidak netral dan keahliannya belum teruji berdasarkan fakta yang terungkap di pengadilan.

Dalam repliknya, JPU mengatakan bahwa saksi ahli tidak pernah melakukan audit ataupun pemeriksaan terhadap kasus Bank Bali. Selain itu, saksi ahli adalah seorang akunting dan auditing yang tidak akan memberikan pendapatnya secara profesional apabila tidak diberikan kesempatan untuk menganalisis dan mengevaluasi data-data yang diperlukan dan ditegaskan oleh JPU.

Kesaksian saksi ahli didasarkan atas penunjukannya dari BPKB yang menunjukkan bahwa Amin benar-benar seorang ahli di bidang akunting dan auditing, sehingga bantahan terhadap pledooi penasehat hukum adalah tidak benar.

Dalam repliknya, JPU dengan tegas menyatakan sangat keberatan atas pledooi yang dibacakan oleh penasehat hukum yang menyatakan bahwa di era reformasi kok masih ada jaksa yang merekayasa fakta demi memuaskan atasannya. JPU menyatakan, dalam repliknya sejak awal persidangan sampai pembelaan dibacakan telah sama-sama menjalankan persidangan dengan penuh kearifan dan mengacu pada hukum acara dan etika profesi.

Di dalam repliknya, JPU membantah pledooi dari tim Penasehat Hukum yang menyatakan bahwa JPU telah memanipulasi fakta. Hal tersebut dibantah oleh JPU di dalam repliknya, karena di dalam fakta-fakta yang terungkap di persidangan sebagian besar keterangan saksi yang disumpah tetap kepada kesaksiannya, kecuali saksi ahli Prof. Loebby Loqman yang menarik keterangan di dalam persidangan. Dengan demikian, menurut JPU dalam repliknya, tidak ada manipulasi fakta dalam persidangan.

Dalam repliknya JPU berkesimpulan bahwa pembelaan dari tim Penasehat hukum tidak didukung oleh bukti-bukti sah dan meyakinkan, sehingga tim Penasehat Hukum telah salah persepsi menafsirkan perbuatan melanggar hukum yang memenuhi unsur Pasal 1 sub a undang-undang No. 3 Tahun 1971.

Selain itu, semua unsur-unsur pasal 1 sub a Undang-undang No. 3 Tahun 71 sebagaimana didakwakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga Jaksa Penuntut Umum mohon kepada majelis agar mengenyampingan pembelaan/pledooi tim Penasehat Hukum dan menyatakan bahwa JPU tetap pada tuntutannya yang disampaikan pada 31 Juli 2000. Persidangan sempat diskors untuk mendengarkan duplik dari penasehat hukum atas replik Jaksa Penuntut Umum.

Tags: