Penasehat Hukum Meminta Joko S. Tjandra Dibebaskan
Berita

Penasehat Hukum Meminta Joko S. Tjandra Dibebaskan

Jakarta, Hukumonline. Penasehat hukum Joko S. Tjandra dalam kasus Bank Bali meminta Joko dibebaskan. Alasannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dianggap memutar balik fakta.

Tri/APr
Bacaan 2 Menit
Penasehat Hukum Meminta Joko S. Tjandra Dibebaskan
Hukumonline

Sidang kasus Bank Bali dengan terdakwa Joko S. Tjandra pada Senin (7/8) mendengarkan pledoii dari terdakwa. Pledoii dibacakan oleh kuasa hukum terdakwa, OC Kaligis, John H. Waliry, Y.B. Puraning M. Yanuar, Farida Sulistiyani, Siti Rahayu, Marla Wongkar, Agus Dadjdja, dan Maman Sudirman.

Pleidooi penasehat hukum Joko itu terdiri dari 13 bab. Bab pertama, pendahuluan; bab kedua, kausul posisi; bab ketiga, kelemahan surat jaksa penuntut umum; bab keempat, fakta-fakta yang terungkap di persidangan, baik dari saksi-saksi maupun terdakwa; bab kelima, resume fakta persidangan.

Bab keenam, rincian alat bukti, baik bukti surat berdasarkan Pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP maupun alat bukti keterangan saksi sesuai Pasal 184 ayat 1 huruf a. Bab ketujuh, fakta-fakta yang terungkap dalam surat dakwaan bahwa surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa itu tidak benar.

Bab sembilan dan sepuluh, analisis fakta yang dilanjutakan dengan pembahasan yurisis. Bab sebelas, panasehat hukum akan mengupas ketidakbenaran tuntutan pidana JPU. Bab kedua belas, pembahasan unsur-unsur baru rumusan delik menurut JPU. Bab ketiga belas kesimpulan dan penutup.

Fakta diputarbalik

Dalam pledooinya, penasehat hukum melihat fakta yang dianalisis oleh JPU banyak yang tidak merupakan fakta yang terungkap. "Bahkan fakta tersebut sering diputarbalik," ujar Kaligis.

Penasehat hukum Joko menyebutkan fakta-fakta tidak benar yang dikemukakan oleh JPU. Pertama, dalam persidangan tidak pernah diungkap mengenai pertemuan di lantai 40 ruang presidential suite Hotel Mulia pada 11 Februari 1999.

Fakta yang dianggap diputarbalik lainnya adalah tidak pernah terungkap bahwa saksi Marimutu Manimaren mengatakan ikut dalam pertemuan di lantai 40 ruang presidential suite. Selain itu, tidak pernah terungkap bahwa terdakwa memprakarsai pertemuan tersebut.

Penasehat Hukum Joko melihat bahwa JPU meyakini, pertemuan padal 11 Februari 1999 hanya dari saksi Firman Soetjahja, Rudy Ramli, dan Irvan Gunardwi. Fakta itu dianggap tidak benar. Pasalnya, ketiga saksi tidak pernah mengemukakan adanya pertemuan yang dihadiri oleh terdakwa, Pande Lubis, A.A. Baramuli, Syafril Sabirin, Tanri Abeng, Marimutu Manimaren, Setya Novanto, Firman Soetjahja, dan Irvan Gunardwi

Penasehat hukum juga menganggap JPU telah menggelapkan fakta-fakta persidangan, seperti keterangan saksi ahli Roswa Agustinus Pangaribuan yang dianggap mempunytai kepentingan. Alasannya, suami Roswa, Luhut Pangaribuan, adalah anggota tim advokasi BPPN. Padahal BPPN mempunyai kepentingan terhadap uang yang diterima oleh PT EGP (Era Giat Prima).

Menurut penasehat hukum terdakwa, kesaksian dari Amin Sunaryadi yang anggota BPKP dianggap mempunyai kepentingan dan nafsu untuk menghukum terdakwa karena Amin adalah tim audit BPKP dalam kasus Bank Bali.

Membebaskan terdakwa

Dalam pledooinya, penasehat hukum juga menyebutkan bahwa penuntut umum kekurangan fakta hukum dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dan menutupi kekurangannya itu dengan mengutip berbagai teori dan yurispudensi yang dianggap bertentangan dengan hukum pembuktian.

Berdasarkan uraian dan fakta tersebut, penasehat hukum terdakwa berpendapat bahwa tuntutan dakwaan primer ternyata tidak terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur delik yang dituduhkan pada terdakwa. Oleh karena itu terdakwa harus dibebaskan dari seluruh dakwaan vreijspraak.

Sementara mengenai hukuman tuntutan penjara, penasehat hukum Joko berpendapat tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwa merugikan keuangan negara. Alasannya, tuntutan tersebut sama sekali tidak dilandasi UU sebagaimana dalam tuntutan JPU bahwa terdakwa dituntut Rp30 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selanjutnya, mengenai tuntutan JPU  merampas untuk negara barang bukti berupa dana sebesar Rp546,469 milyar , tim penasehat hukum menolak tuntutan tersebut. Pasalnya, JPU tidak punya alasan dan dasar hukum yang sah sehingga dana tersebut harus dikembalikan pada pemiliknya yaitu PT EGP.

Penasehat hukum terdakwa, meminta JPU memulihkan hak-hak terdakwa Joko S. Tjandra, pada kemampuan kedudukan nama dan harkat serta martabatnya, serta membebankan biaya perkara pada negara. Oleh karena itu penasehat meminta untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan primer, subsider, lebih subsider, lebih-lebih subsider, lebih-lebih subsider lagi.

Non-yuridis

Jaksa Penuntut Umum, Antasari Azhar, menanggapi pleidooi yang dibacakan oleh tim penasehat hukum terdakwa. Ia melihat hal itu merupakan hak terdakwa untuk mengajukan pembelaan atas tuntutan atau requisitoir jaksa pada minggu lalu.

Antasari juga melihat bahwa fakta-fakta yang disajikan oleh tim penasehat hukum terdakwa hanya melihat fakta per fakta dan tidak melihat itu rangkaian fakta. "Pembelaan oleh penasehat hukum terdakwa adalah hal-hal non-yuridis yang merupakan etika profesi dan tidak tepat disampaikan dalam pleidoi," katanya. Ia mencontohkan antara lain jaksa dalam membuat tuntutan banyak merekayasa fakta.

Berkaitan dengan pertemuan 13 Februari 1999, Jaksa Penuntut Umum yakin bahwa pertemuan tanggal tersebut ada. Antasari tetap berkeyakinan bahwa Joko bersalah dan itu akan diajukan secara lengkap dalam replik yang akan disampaikan pada 14 Agustus 2000.

 

Tags: