Penembakan Laskar FPI, Begini Prosedur Penggunaan Senjata Api oleh Polisi
Utama

Penembakan Laskar FPI, Begini Prosedur Penggunaan Senjata Api oleh Polisi

Prinsipnya, penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar menghadapi keadaan luar biasa yang mengancam nyawa petugas Polri atau masyarakat.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Simpatisan anggota FPI saat berunjuk rasa di depan Gedung Mabes Polri, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES
Simpatisan anggota FPI saat berunjuk rasa di depan Gedung Mabes Polri, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES

Peristiwa tewasnya 6 orang anggota Front Pembela Islam (FPI)I yang diduga karena tembakan aparat kepolisian mendapat sorotan masyarakat. Kepolisian beralasan penembakan dilakukan lantaran anggota polisi merasa terancam keselamatan jiwanya karena diserang lebih dulu, kemudian melakukan tindakan tegas dan terukur. Berbagai pihak menuntut agar kasus itu diusut tuntas. Kini, Komnas HAM tengah menyelidiki kasus ini.

Lantas, bagaimana sebenarnya aturan prosedur tetap penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian? Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, menjelaskan penggunaan senjata api hanya boleh digunakan untuk menghadapi keadaan luar biasa dan melindungi nyawa manusia serta petugas kepolisian sendiri.

“Dalam penggunaan senjata api, ada prosedur yang harus dilakukan polisi dengan mempertimbangkan alasan dan tahapan dalam tindakan,” kata Arif ketika dikonfirmasi, Kamis (10/12/2020). (Baca Juga: Diduga Extra Judicial Killing, Koalisi Minta Bentuk Tim Independen Usut Penembakan Anggota FPI)

Arif menerangkan ada dua peraturan terkait penggunaan senjata api yakni Peraturan Kepala Kepolisian RI (Perkapolri) No.1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan Perkapolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dia menjelaskan Pasal 47 Perkapolri No.8 Tahun 2009 mengatur 6 alasan yang membolehkan petugas menggunakan senjata api. Pertama, dalam hal menghadapi keadaan luar biasa. Kedua, membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat. Ketiga, membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat.

Keempat, mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang. Kelima, menahan, mencegah, atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa. Keenam, menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Pasal 48 Perkapolri No.8 Tahun 2009 memberi pedoman terkait prosedur penggunaan senjata api. Pedoman itu antara lain petugas memahami prinsip penegakkan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. Sebelum menggunakan senjata api, petugas harus memberi peringatan yang jelas.

Peringatan ini bisa dilakukan melalui 3 cara. Pertama, menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas. Kedua, memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya. Ketiga, memberi waktu cukup agar peringatan dipatuhi. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya, cara ketiga tidak perlu dilakukan.

Mengacu Pasal 49 Perkapolri No.8 Tahun 2009, Arif menjelaskan setelah melakukan penindakan penggunaan senjata api ada kewajiban yang harus dilakukan petugas yakni mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api; memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak; memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api; dan membuat laporan rinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.

Arif menjelaskan Pasal 5 Perkapolri No.1 Tahun 2009 mengatur 6 tahap penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Keenam tahapan itu meliputi kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan; perintah lisan; kendali tangan kosong lunak; kendali tangan kosong keras; kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri; tahap terakhir kendali menggunakan senjata api atau alat lain untuk menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.

Menurut Arif, anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan tersebut sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan beberapa prinsip. Prinsip itu antara lain legalitas, semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Nesesitas, penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi. Selain itu, proporsionalitas, penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.

Sesuai Perkapolri No.1 Tahun 2009, penggunaan dengan senjata api oleh kepolisian hanya upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka. “Bila penghentian tindakan pelaku kejahatan atau tersangka ada ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat penggunaan senjata api tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.”

Untuk itu, LBH Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil berharap kasus ini segera dituntaskan mengingat tidak sedikit kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi dalam 3 tahun terakhir. “Beberapa Kasus ini mengingatkan kita dengan kasus pembunuhan di luar proses hukum yang sampai hari ini tidak jelas pertanggungjawaban dan penegakan hukumnya oleh Kepolisian,” kata Arif. 

Pertanggungjawaban

Perkapolri No.1 Tahun 2009 mengatur mekanisme pertanggungjawaban penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Pasal 13 Perkapolri Tahun 2009 menyebut setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas penggunaan kekuatan tindakan kepolisian. Dalam perintah atasan/pimpinan, anggota Polri yang menerima perintah tersebut dibenarkan untuk tidak melaksanakan perintah bila perintahnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

“Atasan/pimpinan yang memberi perintah kepada anggota Polri untuk melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, harus turut bertanggung jawab atas risiko/akibat yang terjadi sepanjang tindakan anggotanya tidak menyimpang dari perintah atau arahan yang diberikan.”

Pertanggungjawaban atas risiko yang terjadi akibat keputusan yang diambil anggota Polri ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan/penyidikan terhadap peristiwa yang terjadi oleh tim investigasi. “Tim investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibentuk sesuai ketentuan yang berlaku,” demikian bunyi Pasal 13 ayat (6) Perkapolri No.1 Tahun 2009.

Arif menambahkan dalam Pasal 14 Perkapolri No.1 Tahun 2009 yang mengatur peran pimpinan dan laporan pelaksanaan tahapan penggunaan kekuatan. Pasal 14 ayat (1) Perkapolri No.1 Tahun 2009 mengatur setiap pimpinan sebelum menugaskan anggota yang diperkirakan akan menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib memberikan arahan kepada anggota yang ditugaskan mengenai penggunaan kekuatan.

Untuk itu, Koalisi meminta agar dilakukan penyelidikan independen yang serius terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, peristiwa ini harus diusut secara transparan dan akuntabel,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait