Penetapan Kenaikan NJOP Tanpa Batas
Kolom

Penetapan Kenaikan NJOP Tanpa Batas

Penetapan kenaikan NJOP tanpa batas di masa pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan keresahan dan keluhan di tengah-tengah masyarakat.

Bacaan 6 Menit
Penetapan Kenaikan NJOP Tanpa Batas
Hukumonline

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

Fungsi NJOP adalah sebagai dasar bagi pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yaitu pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Selain itu NJOP juga berfungsi untuk dijadikan sebagai dasar bagi perhitungan dan penetapan nilai BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yaitu pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan, yaitu meliputi:

  1. Pemindahan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, atau hadiah.
  2. Pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak.

Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu untuk jual beli adalah harga transaksi, untuk tukar menukar adalah nilai pasar, untuk hibah adalah nilai pasar, untuk hibah wasiat adalah nilai pasar, untuk waris adalah nilai pasar, untuk pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar, untuk pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar, untuk penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang, untuk pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar, untuk penggabungan usaha adalah nilai pasar, untuk peleburan usaha adalah nilai pasar, untuk pemekaran usaha adalah nilai pasar, atau untuk hadiah adalah nilai pasar.

Jika NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP pada tahun terjadinya perolehan, maka dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP. Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh kepala daerah kota/kabupaten.

Di Indonesia saat ini ditemukan ada sejumlah kepala daerah kota/kabupaten yang menetapkan kenaikan NJOP di daerahnya tanpa batas. Di daerah-daerah tertentu penetapan kenaikan NJOP tanpa batas ini ada yang mencapai 1.000 persen sampai dengan 4.000 persen, bahkan lebih.

Penetapan kenaikan NJOP tanpa batas di masa pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan keresahan dan keluhan di tengah-tengah masyarakat. Reaksi bermunculan, mulai dari unjuk rasa, membuat laporan kepada pemerintah pusat, mengajukan keberatan ke pemerintah kota/kabupaten, sampai berujung kepada pengaduan masyarakat (dumas) ke aparat penegak hukum (kepolisian). Hal ini terjadi karena penetapan kenaikan NJOP tanpa batas ini mengakibatkan kenaikan luar biasa atas PBB-P2 dan BPHTB yang harus dibayar oleh masyarakat.

Penetapan kenaikan NJOP tanpa batas ini juga telah mengganggu aktivitas dan perekonomian masyarakat (developer, perbankan dan lain-lain) dalam perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi pemindahan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, dan lain-lain demikian pula halnya dengan pemberian hak baru (pengurusan atau penerbitan sertipikat tanah) karena kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak, karena masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban perpajakan yang harus dilunasi terkait kegiatan-kegiatan tersebut di atas. 

Ketidakmampuan masyarakat untuk melunasi kewajiban perpajakannya akibat penetapan kenaikan NJOP tanpa batas ini juga mempengaruhi pemasukan ke kas negara melalui Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/atau Bangunan (PPHTB) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya dan pemasukan ke kas daerah melalui BPHTB sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Disadari atau tidak penetapan kenaikan NJOP tanpa batas ini juga telah membuka lahan korupsi baru bagi oknum aparatur sipil negara (ASN) yaitu pejabat dan atau pegawai instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi di daerah kota/kabupaten. Hal ini dikarenakan, penetapan kenaikan NJOP tanpa batas ini telah dijadikan posisi tawar untuk bernegosiasi dalam menghadapi masyarakat yang mengajukan permohonan keberatan atas penetapan kenaikan NJOP tanpa batas.

Di daerah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bagi masyarakat yang keberatan atas penetapan kenaikan NJOP tanpa batas ini diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan keberatan dan terhadap permohonan ini oleh oknum ASN tertentu dibebani “success fee” yang jumlahnya bervariasi tergantung besar kecilnya jumlah NJOP yang diajukan keberatannya.

Diduga salah satu faktor penyebab penetapan kenaikan NJOP tanpa batas ini adalah karena insentif pemungutan pajak dan retribusi yaitu tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Insentif pemungutan pajak dan retribusi tersebut diberikan kepada:

  1. Pejabat dan pegawai instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.
  2. Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai penanggung jawab pengelolaan keuangan daerah.
  3. Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
  4. Pemungut pajak bumi dan bangunan pada tingkat desa/kelurahan dan kecamatan, kepala desa/lurah atau sebutan lain dan camat, dan tenaga lainnya yang ditugaskan oleh instansi pelaksana pemungut pajak, dan
  5. Pihak lain yang membantu instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi.

Penetapan kenaikan NJOP tanpa batas ini sesungguhnya tidak akan terjadi jika para kepala daerah kota/kabupaten memahami dan melaksanakan dengan baik dan benar Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (selanjutnya disebut PMK 208/2018), namun faktanya tidak demikian.

Di dalam PMK 208/2018 tersebut sesungguhnya sudah diatur tentang pedoman tata cara penetapan kenaikan NJOP. Akan tetapi fakta membuktikan ada kepala daerah kota/kabupaten yang tidak memahami dan tidak melaksanakan PMK 208/2018 tersebut dengan baik dan benar bahkan diduga ada kepala daerah kota/kabupaten yang tidak mengetahui keberadaan PMK 208/2018 meskipun dalam pembentukan peraturan kepala daerah tersebut dicantumkan PMK 208/2018 sebagai dasar hukum pembentukannya.

Menurut PMK 208/2018 dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP dan NJOP tersebut diperoleh melalui proses penilaian, baik melalui penilaian massal maupun penilaian individual. Penilaian massal maupun penilaian individual dilakukan dengan membentuk Nilai Indikasi Rata-Rata (NIR) dalam setiap Zona Nilai Tanah (ZNT).

NIR adalah nilai pasar rata-rata yang dapat mewakili nilai tanah dalam suatu ZNT yaitu zona geografis yang terdiri atas satu atau lebih objek pajak yang mempunyai satu NIR yang sama, dan dibatasi oleh batas penguasaan/pemilikan objek pajak dalam satuan wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan tanpa terikat pada batas blok. Faktanya ditemukan ada peraturan kepala daerah kota/kabupaten yang tidak melakukan proses penilaian dalam penetapan kenaikan NJOP di daerahnya, baik melalui penilaian massal maupun penilaian individual dan juga tidak membentuk NIR dan ZNT.

Selanjutnya menurut PMK 208/2018, proses penilaian harus dilakukan oleh Penilai PBB-P2 dari ASN di lingkungan pemerintah daerah kota/kabupaten dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh PMK 208/2018. Dalam hal kriteria Penilai tidak dapat dipenuhi dari ASN di lingkungan pemerintah daerah kota/kabupaten maka pemerintah daerah kota/kabupaten dapat melakukan kerjasama dengan instansi teknis terkait yang memiliki kompetensi dalam bidang penilaian.

Pada kenyataannya ditemukan ada kepala daerah kota/kabupaten menetapkan peraturan kepala daerah tanpa proses penilaian yang dilakukan oleh Penilai PBB-P2 yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh PMK 208/2018, bahkan ditemukan pula ada kepala daerah kota/kabupaten yang menetapkan kenaikan NJOP dengan menggunakan penilaian instansi teknis terkait yang memiliki kompetensi dalam bidang penilaian tanpa adanya kerjasama sebagaimana diamanatkan oleh PMK 208/2018.

Lebih lanjut PMK 208/2018 mengatur bahwa kepala daerah kota/kabupaten menetapkan besaran NJOP bumi dan bangunan setiap 3 tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. Fakta di lapangan menunjukkan ada kepala daerah kota/kabupaten yang tidak pernah secara periodik (setiap 3 tahun) menetapkan besaran NJOP bumi dan bangunan akan tetapi langsung menetapkan kenaikan NJOP tanpa batas.

Selain itu, PMK 208/2018 juga mengatur bahwa ketentuan mengenai Tata Cara Penilaian PBB-P2 harus ditetapkan dalam peraturan kepala daerah kota/kabupaten. Namun ditemukan dalam praktik ada kepala daerah kota/kabupaten menetapkan kenaikan NJOP tanpa batas dengan tidak terlebih dahulu menetapkan peraturan kepala daerah tentang Tata Cara Penilaian PBB-P2 sebagaimana yang diperintahkan oleh PMK 208/2018.

Menurut PMK 208/2018, penetapan NJOP dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu pendekatan data pasar atau perbandingan harga (market data/ sales comparison approach), pendekatan biaya (cost approach) dan pendekatan kapitalisasi pendapatan (income approach). Namun dalam kenyataannya ditemukan ada peraturan kepala daerah kota/kabupaten tidak menggunakan pendekatan apapun dalam melakukan penilaian.

Lebih lanjut menurut PMK 208/2018, konsep peraturan atau keputusan kepala daerah kota/kabupaten tentang penetapan NJOP memuat:

  1. Klasifikasi dan besarnya NJOP tanah yang disusun per desa/kelurahan dan dilengkapi dengan fotokopi peta ZNT.
  2. Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB) yang disusun per jenis penggunaan bangunan.
  3. Klasifikasi dan besarnya NJOP tanah dan bangunan sebagai hasil kegiatan penilaian individual.
  4. Daftar objek pajak hasil penilaian individual beserta nilainya disusun per objek pajak dan per desa/kelurahan.

Faktanya dalam praktik ditemukan ada peraturan kepala daerah kota/kabupaten yang tidak memuat keempat hal tersebut sebagaimana diamanatkan oleh PMK 208/2018. Pemerintah pusat sebaiknya mengatur pembatasan maksimal untuk kenaikan NJOP dan pemberian sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan batas maksimal kenaikan NJOP.

*)Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn., adalah Dosen Magister Kenotariatan FH USU Medan dan Notaris/PPAT.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Utara dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait