Beban anggaran negara untuk penanganan perkara ini pula yang mendapat sorotan Hasbullah. Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, ini biaya penanganan suatu perkara sangat besar, sehingga aparat penegak hukum perlu mempertimbangkan efektivitas penanganannya hingga ke pengadilan. Perkara-perkara yang sebenarnya ‘ringan’ justru membebani anggaran negara jika harus diteruskan melalui semua proses sistem peradilan pidana, hingga eksekusi. Menerapkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan salah satu solusi mengurangi beban anggaran tersebut.
Antisipasi Penyimpangan
Meskipun demikian, Hikmahanto dan Suparji mengingatkan pentingnya membuat pedoman yang jelas untuk mencegah penyimpangan penerapan restorative justice. Sejak awal harus ada upaya mencegah penyimpangan agar mekanisme restorative justice tidak disalahgunakan oknum-oknum jaksa. Salah satu alat pencegahan sudah disebut dalam Perja, yakni penghentian penuntutan secara bertingkat. Jaksa harus melapor ke atasannya.
Penyimpangan sangat mungkin terjadi jika perdamaian antara pelaku dan korban selalu bermuara pada uang. Penyelesaian perkara semacam ini akan lebih menguntungkan orang yang berpunya. Padahal tujuan restorative justice bukan semacam itu.
Menurut Hikmahanto, integritas jaksa yang menangani perkara adalah benteng penting mencegah penyimpangan. Integritas sering dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan, artinya pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan jaksa. Tetapi itu saja tidak cukup. Harus ada pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. “Tim pengawasan harus turun untuk memastikan proses restorative justice di lapangan adalah proses yang benar,” pungkasnya.