Penyebab Minimnya Pencatatan Perjanjian Kawin
Hukum Perkawinan Kontemporer

Penyebab Minimnya Pencatatan Perjanjian Kawin

​​​​​​​Karena pembuatan perjanjian kawin tidak menjadi kebiasaan/budaya bagi calon pasutri/pasutri di Indonesia dan prosedurnya harus melibatkan notaris dan pegawai pencatat perkawinan.  

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Pasca putusan MK ini, sejumlah pihak berkepentingan mempertanyakan bagaimana teknis pembuatan dan pencatatan perjanjian perkawinan. Sebab, putusan MK itu seolah mengubah proses pembuatan perjanjian perkawinan. Awalnya, cukup dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, tetapi setelah putusan MK juga dapat disahkan oleh notaris yang bersifat pilihan, kemudian didaftarkan ke KUA atau dinas kependudukan dan catatan sipil.  

 

Hal ini seperti tertuang dalam Surat Edaran Nomor: B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 perihal Pencatatan Perjanjian Perkawinan sebagai tindak lanjut Putusan MK No. 69/PUU/XIII/2015 tertanggal 28 September 2017. SE yang diteken Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Muhammadiyah Amin ini ditujukan ke Kepala Kantor Wilayah Kemenag seluruh Indonesia dengan tembusan Menteri Agama dan Ketua MK yang memuat lima poin. (Baca Juga: 5 Poin SE Kemenag Soal Pencatatan Perjanjian Perkawinan)

 

Pertama, pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan sebelum, saat, atau selama ikatan perkawinan yang disahkan oleh notaris dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Kedua, PPN mencatat perjanjian perkawinan tersebut pada kolom catat dalam akta nikah (model N) dan kolom catatan status perkawinan dalam kutipan akta nikah (model NA). Ketiga, persyaratan dan tata cara pencatatan perjanjian perkawinan termuat dalam Lampiran I.

 

Keempat, perkawinan yang dicatat oleh negara lain, tetapi perjanjian perkawinan atau perubahan/pencabutan dibuat di Indonesia, maka pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan dimaksud dibuat dalam bentuk surat keterangan oleh KUA Kecamatan seperti format pada Lampiran II. Kelima, seluruh Kepala Kanwil Kemenag di tiap provinsi wajib mensosialisasikan edaran ini kepada seluruh KUA Kecamatan di masing-masing wilayahnya.

 

Misalnya, dalam Lampiran I SE ini, syarat dan tata cara pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan. Untuk syarat pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau saat perkawinan dilangsungkan adalah foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP), foto copy Kartu Keluarga (KK), foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir. Sedangkan yang dibuat selama ikatan perkawinan persyaratannya ditambah buku nikah suami dan istri.

 

Sementara jika pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang ingin dibuat di Indonesia, tapi perkawinan tercatat di luar negeri atau negara lain, persyaratannya antara lain foto copy KTP, foto copy KK, foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir, dan buku nikah suami dan istri atau akta perkawinan yang diterbitkan negara lain. (Baca Juga: Tips Aman Membuat Perjanjian Kawin Ala Notaris dan Hakim Agung)

 

“Kami sudah terbitkan surat edaran itu sebagai pelaksanaan putusan MK yang bersifat final, kami siap laksanakan. Kami berkewajiban memberi pedoman tata cara pelaksanaan putusan MK tersebut untuk dilaksanakan Kantor Urusan Agama (KUA) di setiap kecamatan,” ujar Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Muhammadiyah Amin saat dihubungi Hukumonline, Selasa (5/6/2018).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait