Penyelesaian Sengketa Dalam RPP E-Commerce Perlu Diperjelas
Berita

Penyelesaian Sengketa Dalam RPP E-Commerce Perlu Diperjelas

Bila perlu dibentuk badan independen yang khusus menangani penyelesaian sengketa pada sistem dan transaksi elektronik.

FAT
Bacaan 2 Menit
Teguh Arifiyadi. Foto: Istimewa
Teguh Arifiyadi. Foto: Istimewa

[Versi Bahasa Inggris]

Kritikan terhadap substansi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang E-Commerce kembali muncul. Kali ini, kritikan datang dari Indonesia Cyber Law Community (ICLC). Ketua Umum ICLC, Teguh Arifiyadi mengatakan, salah satu substansi yang kurang jelas dalam RPP adalah mengenai penyelesaian sengketa yang berbasis online dispute resolution (ODR).

Menurutnya, mekanisme ODR harus dijelaskan dalam RPP. Hal ini penting lantaran RPP tersebut dilihatnya lebih menitikberatkan ke arah perlindungan konsumen. “Yang lebih penting itu membangun keseimbangan antara perlindungan konsumen dengan kebutuhan dari penyelenggara dan kepentingan dari penyelenggara E-Commerce itu sendiri,” kata Teguh saat dihubungi hukumonline, Jumat (3/7).

Bukan hanya itu, Teguh juga menyarankan agar RPP juga mengatur satu klausul yang menjadi rujukan apabila terjadi persoalan pidana. Misalnya, memastikan bahwa segala bentuk masalah pidana yang muncul akan dirujuk kepada UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Ia optimis jika penegakan hukum dalam IT ini berjalan efektif, maka penanganan perkara pidana di sektor E-Commerce dapat berjalan baik. Hanya saja, terdapat kendala jika penanganan lintas negara. “Kalau ini (lintas negara, red), semua negara akan alami hal yang sama, pasti tidak akan berjalan,” katanya.

Menurutnya, sektor E-Commerce sama dengan sektor IT secara umum. Maka itu, pola-pola kejahatan yang akan terjadi akan sama. Mayoritas kejahatannya bukan masuk kategori cyber crime, tapi konvensional crime yang menggunakan media cyber. Misalnya, penyalahgunaan data pribadi, penipuan online hingga pemalsuan identitas. Meski begitu, cyber crime juga mungkin akan terjadi, seperti hacking dan tracking. “Tapi lebih didominasi oleh konvensional crime,” katanya.

Teguh juga menyarankan, perlu dibentuk sebuah badan yang independen yang khusus menangani penyelesaian sengketa terkait sistem dan transaksi elektronik. Misalnya seperti di Inggris, yakni Security Federal Officer (SFO). Seluruh laporan sengketa masuk dan kemudian ditangani olah panelis di SFO.

Lalu, panelis tersebut yang merekomendasikan apakah sengketa masuk kategori pidana atau perdata. Namun, permasalahan yang ditangani panelis SFO adalah masalah yang dianggap krusial saja. Menurutnya, pembentukan badan independen ini bisa dilakukan di Indonesia tanpa melalui campur tangan pemerintah. “Kalau badan independen bisa berbentuk kesepakatan para stakeholder. Kecuali kalau didanai oleh pemerintah bisa melalui UU,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait