Perhatikan Hal Ini Sebelum Berniat Merevisi UU KPK
Utama

Perhatikan Hal Ini Sebelum Berniat Merevisi UU KPK

Terdapat 19 uji materi terhadap UU KPK, dimana dalam putusannya MK menilai tidak ada hal yang salah secara konstitusional terhadap UU KPK. Bila merujuk kebutuhan masyarakat, berdasarkan hasil survey mayoritas masyarakat menolak revisi UU KPK.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Diskusi ILUNI FHUI bekerja sama dengan FHUI terkait polemik revisi UU KPK, Senin (22/2). Foto: RES
Diskusi ILUNI FHUI bekerja sama dengan FHUI terkait polemik revisi UU KPK, Senin (22/2). Foto: RES
Revisi Undang-Undang (RUU) No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejatinya dilakukan atas kebutuhan di masyarakat, bukan atas kehendak segelintir orang. Ketika publik menilai UU KPK sudah tidak sesuai dengan kondisi kekinian dalam pemberantasan korupsi, maka sudah layak untuk dilakukan revisi. Sebaliknya bila tidak, maka RUU KPK belum layak direvisi saat ini.

Staf Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyoroti dari sektor legislasi. Menurutnya, merevisi sebuah UU mesti jelas politik legislasinya. Berbeda dengan RUU KPK, DPR dan pemerintah dalam perjalanannya saling lempar ‘bola panas’. “Biasanya ketika mau melakukan pembentukan UU harus ada tujuan politik legislasi. Ini tidak kita lihat,” ujarnya dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI), di Daniel S Lev Law Library, Jakarta, Senin (22/2).

Bivitri berpandangan, secara konstitusi keinginan merevisi UU KPK perlu dilihat dari  kebutuhan di tengah masyarakat, bukan atas keinginan segelintir orang. Setidaknya, kata Bivitri, terdapat 19 uji materi terhadap UU KPK. Dalam putusannya, MK menilai tidak ada hal yang salah secara konstitusional terhadap UU KPK. Sementara bila merujuk kebutuhan masyarakat, perlu tolak ukur. Misalnya, berdasarkan hasil  survey kepada publik, ternyata lebih besar suara masyarakat yang menghendaki tidak diperlukan revisi UU KPK.

“Dari segi urgensi juga belum ada urgensinya untuk diubah sekarang,” ujarnya.

Lebih jauh, Bibip begitu Bivitri biasa disapa, menilai acapkali UU dianggap menjadi solusi atas semua persoalan. Padahal, masih terdapat cara lain yang dapat digunakan selain merevisi UU. Ironisnya, justru dengan merevisi muatan materi RUU cenderung melemahkan kewenangan, bukan sebaliknya.

“Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan UU. Politik legislasinya bukan upaya positif, tapi melemahkan KPK,” ujarnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, R Narendra Jatna, menambahkan merevisi UU KPK belum tentu menjamin adanya kenaikan index persepsi korupsi (IPK) di Indonesia. Menurutnya, menaikan IPK tak sekadar merevisi UU KPK. Namun setelah merevisi mesti dipantau penerapannya. “Jadi tidak sekadar buat UU, tapi perlu exercise,” ujarnya.

Pria yang juga menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Timur (Jaktim) itu tak mempersoalkan revisi atau sebaliknya. Pasalnya, revisi sebuah UU menjadi ranah DPR. Sementara penegak hukum hanyalah pihak yang melaksanakan UU. “Tetapi kalau mau diubah harus pas asasnya, bukannya hilang,” ujarnya.

Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPK Jilid III, Chandra Marta Hamzah, mengaku tak alergi dengan revisi sebuah UU. Sebab, perubahan terhadap sebuah aturan sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam rangka mengikuti perkembangan zaman. Namun, perdebatan antara menguatkan dan melemahkan KPK tak perlu dilakukan. Pasalnya, dalam penguatan dimungkinkan ada pelemahan, begitu pula sebaliknya.

“Terpenting bagaimana UU KPK saat ini, dan apa memang sudah diperlukan. Jadi lihat dari sisi kebutuhan. Kemudian kapan kebutuhan itu harus dipenuhi. Bicara kebutuhan, tentu saja kita melihat kebutuhan siapa, apakah kebutuhan segelintir orang, elit atau masyarakat luas,” katanya.

Kendati begitu, melakukan revisi terhadap UU menjadi ranah DPR, bukan pemerintah. Pasalnya, berdasarkan dokumen yang dikantongi Chandra, awal mula terbentuk KPK merupakan inisiatif dari DPR. Usul dibentuknya KPK datang dari politisi PPP di DPR yakni Zein Badjeber. Bila merujuk dengan kondisi kekinian, DPR memiliki kewenangan merevisi UU KPK. Hanya saja, kata Chandra, apakah revisi berdasarkan atas kebutuhan masyarakat atau segelintir elite politik di parlemen.

Praktisi hukum ini lebih lanjut berpandangan, dalam perjalanan RUU KPK, DPR dan pemerintah saling lempar bola panas. Terlebih adanya ketidaksesuaian dalam draf RUU KPK. Misalnya, KPK diperbolehkan mengangkat penyelidik dan penyidik independen yang dengan syarat telah berpengalaman 2 tahun.

Bila berpengalaman artinya berasal dari kepolisian dan instansi lain. Dengan begitu, KPK sulit mengangkat penyelidik dan penyidik independen dengan persyaratan tersebut. Chandra menilai pembuat draf UU tidak memiliki pemahaman hukum acara pidana yang baik. Meski RUU KPK dibuat untuk menutupi kekurangan yang ada, namun masih banyak terdapat ketidakkonsistenan redaksional dalam draf RUU.

“Itu sama KPK tidak bisa mengangkat penyelidik dan penyidik. Jadi tidak konsisten memberikan kewenangan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik tapi tidak bisa ternyata. Ini tidak konsisten,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait