Perkembangan Regulasi Iptek dan Sengkarut di Dalamnya
Terbaru

Perkembangan Regulasi Iptek dan Sengkarut di Dalamnya

Perkembangan teknologi telah merambah ke berbagai sektor kehidupan manusia, di mana segala informasi terbuka dan mudah untuk diakses. Memasuki milenium baru yang diikuti perkembangan zaman, ilmu hukum pun mengikuti perkembangan teknologi.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) sejatinya merupakan amanat yang tertuang di dalam amandemen IV Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 5 yang menyatakan, pemerintah wajib memajukan Iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk mewujudkan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Perkembangan teknologi ini turut mendorong masifnya penggunaan media sosial di dalam kehidupan masyarakat. Kebebasan dalam membuat konten, membagikan cerita serta berkomentar menggunakan identitas asli ataupun identitas palsu diserahkan sepenuhnya kepada pengguna.

Kebebasan berekspresi ini nyatanya tidak dibarengi dengan pemahaman bahwa segala sesuatu dalam menggunakan internet memiliki dasar hukum yang ada, yang jika dilanggar ada ancaman pidana penjaranya. (Baca: Dasar Hukum Lembaga Iptek Sangat Rapuh)

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edman Makarim, dalam Simposium Hukum Nasional yang dilaksanakan pada 7 September 2019, mengungkapkan belum banyak aturan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur penggunaan dan dampak dari perkembangan teknologi.

“Untuk sementara, jika belum ada aturan tersebut, manfaatkan sebaik mungkin UU Informasi Teknologi Elektronik (ITE) dan Permenkominfo No.20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik,” ungkapnya seperti dikutip dalam law.ui.ac.id.

UU ITE yang hadir di tengah masyarakat nyatanya memiliki sejumlah persoalan. UU ITE yang seharusnya melindungi masyarakat dari kejahatan siber justru menjadi senjata yang menghalangi kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, mengungkapkan kekecewaan ini. “Masyarakat yang seharusnya menjadi korban, namun harus menjadi tersangka karena menyampaikan keluhan atau pendapatnya di media sosial. Aparat harus mengedepankan pendekatan keadilan restoratif saat menangani pelaporan UU ITE, sehingga penahanan tidak perlu dilakukan terhadap masyarakat,” jelasnya.

Sejalan dengan hal ini, pemerintah telah menyerahkan surat presiden (Suppress) ke DPR. Surpres dengan nomor R-58/Pres/12/2021 mengenai RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE tertanggal 16 Desember 2021.

Di dalam Suppress, pemerintah meminta percepatan pembahasan agar RUU ITE segera disetujui menjadi UU dan telah masuk ke dalam daftar prioritas Prolegnas tahun 2022. Dalam materi muatan RUU, pemerintah hanya merevisi secara terbatas terhadap substansi pasal-pasal tertentu yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 36 serta pengusulan penambahan pasal baru yang akan direvisi dalam UU ITE yaitu Pasal 45C.

UU ITE telah lebih dari satu dasawarsa berada di tengah masyarakat, sementara tidak sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi yang terus bergerak cepat dari UU ITE yang berlaku. UU ITE yang akan ditata ulang diharapkan tidak menimbulkan over kriminalisasi yang nantinya akan mempersempit ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat yang terjadi seperti selama ini.

Over kriminalisasi tersebut, menandakan UU ITE harus segera direvisi agar tidak bermunculan kasus-kasus lainnya. Banyak masyarakat yang saling melaporkan dengan menggunakan aturan UU ITE. UU ITE di sisi lain baik untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih dan beretika, namun di sisi lain menimbulkan sisi ketidakadilan.

Saat ini Indonesia juga tengah darurat kebocoran data pribadi, untuk itu perlunya sesegera mungkin pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi. Banyaknya pemberitaan mengenai adanya kebocoran data pribadi berpotensi untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Adanya RUU Perlindungan Data Pribadi ini akan memberikan jaminan hukum yang jelas kepada masyarakat yang dirugikan terkait data pribadi.

Selain daruratnya pengesahan RUU Perlindungan Data yang harus sesegera mungkin disahkan, pengguna media sosial yang aktif mengunggah konten harus memperhatikan ketentuan terkait Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yaitu hak cipta.

Terpisah, Legal Analyst Hukumonline Aldeenea Cristabel mengingatkan pengguna media sosial untuk mengerti mengenai ketentuan terkait HAKI. “Pemanfaatkan hak ekonomi suatu ciptaan oleh pihak lain menimbulkan hak bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan royalti. Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran terhadap hak cipta dapat dipidana,” ungkapnya.

Pencatatan seluruh karya cipta menjadi penting dilakukan agar negara mempunyai data dari harta kekayaan intelektual yang kita miliki, terutama di bidang sumber daya alam dan hak kekayaan intelektual yang ada di perguruan tinggi.

Di balik sengkarutnya UU ITE yang ada mengindikasikan bahwa, pemerintah perlu memperbaiki seluruh materi muatan dalam UU IPTEK satu per satu, tidak hanya mengenai kejahatan siber dan pemidanaannya, namun juga termasuk di dalamnya aturan dan juga penerapan UU IPTEK dalam merespon perkembangan teknologi informasi yang masif saat ini.

Tags:

Berita Terkait