Pilunya Menjadi Penasihat Hukum Terpidana Mati
Feature

Pilunya Menjadi Penasihat Hukum Terpidana Mati

Pasti tak mudah bagi seorang advokat saat dihadapkan pada klien yang terancam pidana mati. Selain mendapatkan stigma negatif dari publik, para kuasa hukum ini juga mengalami tekanan secara psikis, terutama saat menemani detik-detik terakhir terpidana mati. Tak sampai disitu, beberapa dari mereka juga mengalami kerugian secara materi dan juga fisik.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 9 Menit

“Saya hanya disiram air saja. Ada mobil hancur sama teman saya. Itu sampai masa bubar segala macam, malam baru kami bisa keluar, kenang Petrus.

Segala macam tekanan dan reaksi publik ini selalu dialami oleh Petrus tatkala ia menangani sengketa pidana dengan ancaman vonis hukuman mati. Tapi Petrus tak pernah gentar. Baginya, setiap orang berhak melakukan pembelaan hukum sekalipun dia penjahat. Petrus memaklumi reaksi dari publik, yang mungkin belum memahami hak-hak tersangka atau terdakwa, dan fungsi advokat yang menjadi kuasa hukum.

Namun di sisi lain, sebagai penasihat hukum, Petrus tak pernah menjanjikan akan memenangkan perkara. Sejak awal, Petrus berusaha menjelaskan kemungkinan-kemungkinan vonis yang akan diterima oleh kliennya. Hal ini dia lakukan agar klien tidak terlalu berharap, dan dirinya juga tidak dihadapkan pada tekanan psikis.

“Mengapa saya mau tangani kasus ancaman vonis mati, ya karena dari awal kan kita belum tahu apakah tersangka ini pasti bersalah atau tidak. Kalau memang bersalah, ya mau bagaimana. Makanya saya tidak pernah kasih janji-janji manis, saya hanya jelaskan kemungkinan-kemungkinan vonis, mungkin bisa lebih rendah, dan meminta klien berdoa,” jelas pria berdarah Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.

Pun demikian, perasaan kecewa dan sedih juga tidak bisa dipungkiri tatkala kliennya tetap mendapatkan vonis hukuman mati oleh majelis hakim. Saat vonis dibacakan, di satu sisi, ada keluarga yang bersedih, tapi di sisi lain ada pihak korban yang bersorak sorai. Pemandangan ini yang selalu terlihat saat ia menangani perkara pembunuhan atau narkotika dengan ancaman vonis mati. Bahkan vonis tersebut turut berdampak secara psikis, di mana Petrus kehilangan selera makan selama tiga hari.

“Itu satu pihak korban sorak-sorai tapi kami terdiam tiba-tiba, kami berpelukan bingung kami dari kursi itu lalu kita terdiam sebentar. Dan kami hanya bilang, ‘Bapak bisa banding”. Tapi klien tidak ngomong, kayaknya sudah tidak berkata apa-apa. Selama di perjalanan pulang, kami juga terdiam. Tidak ada yang bicara, perasaan tidak enak.”

Apa yang dirasakan Petrus, nyatanya sama dengan apa yang dialami Afif. Saat membela tersangka pembunuhan/narkotika yang diancam dengan vonis mati, gelombang protes dari massa pun datang. Hujatan dan hinaan sudah jadi makanan Afif saat dirinya menerima perkara ancaman vonis mati.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait