Polemik Kewenangan Jaksa Ajukan Peninjauan Kembali
Utama

Polemik Kewenangan Jaksa Ajukan Peninjauan Kembali

Padahal, terdapat Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 yang meneguhkan upaya hukum peninjauan kembali menjadi hak terpidana atau ahli warisnya. DPR mempersilakan masyarakat menguji materi di MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Alzhar Indonesia (UAI) Supardji Ahmad berpandangan pengaturan norma Pasal 30C huruf h Perubahan UU Kejaksaan bukanlah upaya menentang Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 atau bukanlah bentuk pembangkangan hukum. Namun sebagai bagian dari perbaikan dan perluasan norma yang semula terbatas limitatif hak terpidana atau ahli warisnya, kini upaya PK dapat diajukan kejaksaan.

Kemudian, PK yang diajukan jaksa dapat dimaknai sebagai tugas dan tanggung jawab kejaksaan mewakili kepentingan negara serta keadilan bagi korban. Norma itu harus menempatkan posisi jaksa secara proporsional dan seimbang dalam upaya hukum pengajuan PK. Dalam konteks ini, kata Supardji, PK sebagai upaya koreksi dan perbaikan dalam mewujudkan keadilan. Karena itu, jaksa diberikan kewenangan yang sama dengan terpidana atau ahli warisnya dalam kedudukan yang sama.

Dia menekankan, upaya PK yang boleh diajukan jaksa, bila dalam satu putusan atas perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti di persidangan. Namun, praktiknya tidak dibarengi dengan eksekusi hukuman pemidanaan. Nah, jaksa sebagai penuntut umum berhak mengajukan upaya PK sebagai upaya memastikan pelaksanaan sebuah putusan agar dapat dieksekusi. “Jadi ini prasyarat untuk mengajukan PK oleh Kejaksaan,” kata dia.

“Namun demikian problem filosofis itu harus dikonfrontasi dengan problem sosiologis, faktanya ada putusan terbukti bersalah tidak dilakukan pemidanaan, maka itu dapat dilakukan peninjauan kembali.”

Uji materi ke MK

Supardji melanjutkan, agar rumusan norma Pasal 30C huruf h Perubahan UU Kejaksaan terbaru tidak menimbulkan persoalan konstitusionalitas yang berujung uji materi ke MK, pembentuk UU perlu memberikan elaborasi penjelasan komprehensif. Dengan demikian, nantinya publik dapat memahami pertimbangan hukum secara filosofis, yuridis, dan sosiologis tentang konstitusionalitasnya perumusan norma tersebut.

“Agar potensi pengujian konstitusionalitas pasal itu tidak terjadi, saya kira perlu penjelasan pemerintah dan DPR untuk mengantisipasi agar dapat dipahami tentang penerapan norma tersebut,” katanya.

Sementara Imam berpendapat, MK sebagai the guardian of constitution tidaklah membuat hukum baru. Namun MK hanya menginterpretasikan suatu UU terhadap UUD Tahun 1945 melalui uji materl terhadap pasal-pasal UU. Bagi Imam, meski terbuka peluang mengajukan uji materi ke MK, hal ini menunjukan bentuk ketidakpahaman pembuat UU. Sebab, Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 sudah meneguhkan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan PK menjadi hak terpidana atau ahli warisnya.

Supriansa malah mempersilahkan masyarakat menempuh jalur hukum atas ketidakpuasannya terhadap pengaturan norma pengajuan PK oleh jaksa. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada 9 hakim MK dalam memutus uji materi pasal-pasal UU Kejaksaan terbaru yang diajukan masyarakat nantinya. “Saya kira tentang uji materi tidak ada masalah, silakan saja,” katanya.

Politisi Partai Golkar itu berpendapat dalam uji materi terhadap pasal-pasal yang dimohonkan pemohon nantinya di MK, pihak pemerintah dan DPR bakal memberikan argumentasi di persidangan. Menurutnya, DPR dan pemerintah tentu memiliki dalil tersendiri untuk menjawab argumentasi para pemohon. “Tidak ada masalah bagi saya, itu adalah hak bagi siapa saja untuk mengajukan uji formil dan materil,” katanya.

Tags:

Berita Terkait