Produk Hukum Daerah Semacam Ini Miliki Problem Konstitusionalitas
Berita

Produk Hukum Daerah Semacam Ini Miliki Problem Konstitusionalitas

Penelitian Setara Institute pada September 2018-Februari 2019, di Jawa Barat dan Yogyakarta menemukan dampak dari produk hukum daerah yang dipandang diskriminatif terhadap akses pelayanan publik.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Ismail, produk hukum daerah semacam ini memiliki problem konstitusionalitas karena ternyata tidak mampu melindungi seluruh rakyat Indonesia. “Dia melanggar jaminan konstitusional karena banyak disusun berdasarkan imajinasi masa lalu tentang suatu daerah. Kalau dulu ada serambi Mekah, sekarang ada serambi Madinah, Arafah, dan macam-macam,” terang Ismail. 

 

Selain itu, produk hukum daerah seperti ini dipandang Ismail telah digunakan untuk melegitimasi serangkaian perilaku intoleran. Mulai dari stigma sosial yang dimiliki individu, main hakim sendiri dan kekerasan yang didukung negara terhadap kelompok minoritas. Di Yogyakarta misalnya, terdapat Perda yang membatasi kepemilikan tanah oleh etnis Tionghoa. Kemudian juga terkait hak peradilan yang adil bagi pelajar Papua di Yogyakarta. 

 

(Baca: Regulasi dan Institusi Jadi Hambatan Utama Pertumbuhan Ekonomi)

 

Secara garis besar, ia mencatat terdapat 8 dampak yang ditimbulkan akibat adanya produk hukum diskriminatif terhadap kelompok rentan ini. Pertama, mereka kehilangan hak untuk menikmati hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi. Kedua, kehilangan hak atas penegakan hukum yang fair dan reviktimisasi akibat stigma separatis bagi mahasiswa Papua di Yogyakarta. 

 

Ketiga, terdapat restriksi dalam pelayanan publik. Keempat, alienasi sosial yang meluas bagi kelompok LGBT dan perempuan pekerja seks. Kelima, akselerasi intoleransi yang dilegitimasi produk hukum diskriminatif. Keenam, meningkatnya kesulitan mendirikan tempat ibadah. Ketujuh, terbukanya potensi kekerasan terhadap kelompok yang dianggap mengganggu ketertiban. Delapan, tidak terpenuhinya hak anak yang bermasalah dengan hukum. 

 

Walikota Bogor, Bima Arya, di tempat yang sama menjelaskan terkait penilaian sebagian pihak yang menempatkan Kota Bogor sebagai salah satu kota dengan tingkat toleransi yang rendah merupakan pekerjaan rumah bagi pihaknya untuk terus berbenah. Namun, hal itu bukan berarti tidak ada peningkatan sama sekali terkait iklim toleransi di Kota Bogor. Bima mempresentasikan perayaan Cap Go Meh di Kota Bogor yang dihadiri oleh pemuka masing-masing Agama. 

 

“Bogor intoleran gak? Gak. Tapi kalau ada kasus-kasus iya. Tapi itu tidak mempengaruhi citra Bogor,” ujar Bima. 

 

Ia mencontohkan perkembangan persoalan pembangunan rumah ibadah, Gereja Yasmin di Bogor yang mana hari ini telah terdapat perkembangan yang signifikan. Dari awal perdebatan mengenai dasar hukum yang membuat persoalan pembangunan gereja Yasmin menjadi terkatung-katung, saat ini sudah meningkat kepada pembahasan bersama antara tim 7 dengan pemerintah Kota. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait