PSHK: Permendikbudristek 30/2021 Fokus Pelindungan Korban Kekerasan Seksual
Terbaru

PSHK: Permendikbudristek 30/2021 Fokus Pelindungan Korban Kekerasan Seksual

PSHK menilai ketentuan dalam Permendikbudristek 30/2021 tidak melegalkan perbuatan zina, tetapi upaya melindungi setiap orang dari tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pada 31 Agustus 2021. Peraturan itu mendapat dukungan publik karena menjawab keresahan publik terkait marak terjadinya praktik kekerasan seksual, khususnya di lingkungan perguruan tinggi atau kampus.  

Tapi, di sisi lain, penolakan juga datang dari berbagai kalangan karena menganggap keberadaan Permendikbudristek justru seolah melegalkan perbuatan hubungan seksual di luar institusi pernikahan atau zina. Adanya silang pendapat tentang Permendikbudristek tersebut sinyal positif bahwa dialektika publik merespons kebijakan pemerintah tengah berjalan.

“Namun, penolakan yang ada cenderung berlandaskan pada pemahaman yang keliru akan konteks,” ujar Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, dalam keterangannya, Jum’at (12/11/2021). (Baca Juga: Pemerintah Diminta Revisi Terbatas Permendikbudristek 30/2021)

Dia mengatakan perlu dipahami bahwa semangat pembentukan Permendikbudristek tersebut sejak awal adalah melindungi segenap sivitas akademika di lingkungan perguruan tinggi dari ancaman tindakan kekerasan seksual. Hal itu tercantum jelas dalam konsiderans Menimbang Permendikbudristek, terutama huruf (a) dan (b). 

Materi muatan pengaturan Permendikbudristek juga dipercaya mampu menangani darurat kekerasan seksual saat ini, khususnya di lingkungan pendidikan. Hal ini terlihat dimasukkannya prinsip-prinsip penting guna melindungi hak-hak korban. Misalnya, Pasal 3 Permendikbudristek ini menyebutkan prinsip-prinisp yang progresif, seperti kepentingan terbaik bagi korban; keadilan dan kesetaraan gender; dan ada pula kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Baginya, Permendikbudristek ini dapat langsung diimplementasikan oleh perguruan tinggi karena sudah mencantumkan ketentuan dalam bidang pencegahan, penanganan, pelindungan, serta sanksi administratif. “Sehingga, korban bisa lebih berani dan merasa lebih aman sewaktu mengadukan kejadian tersebut kepada penyelenggara perguruan tinggi,” kata dia.

Dia melihat perihal pasal yang mengundang penolakan Permendikbudristek ini yaitu Pasal 5 ayat (2) huruf l dan m yang mencantumkan syarat “consent” atau “persetujuan korban”. Syarat itu adalah unsur yang memang digunakan dalam konstruksi tindakan kekerasan. Hal ini kembali ditegaskan dengan sangat jelas dalam Pasal 5 ayat (3) yang menyebutkan bahwa unsur-unsur “persetujuan korban” mencakup “tidak dalam tekanan, sadar, dan tidak rentan”.

Dalam hukum, adanya persetujuan ini berkaitan dengan kecakapan dan kedewasaan peserta didik. Seorang dewasa bisa menilai akibat hukum dari tiap-tiap pilihan perbuatan hukumnya. Akan tetapi, pengakuan atas otonomi itu tidak berarti mengesampingkan berlakunya nilai-nilai lain yang juga hidup di masyarakat, seperti moralitas, kesusilaan, adat setempat, serta agama.

Tidak berarti melegalkan zina

Menurutnya, adanya unsur “persetujuan korban” juga bukan berarti Pasal 5 ayat (2) huruf l dan m melegalkan perbuatan zina. Fokus ketentuan Pasal 5 tersebut merumuskan ruang lingkup dari tindakan kekerasan seksual. Secara logika formal, adalah sebuah sesat pikir apabila rumusan aturan tersebut dimaknai sebagai membenarkan perzinaan sepanjang ada persetujuan korban.

“Karena jika dicermati, tidak ada pasal dalam Permendikbudristek ini yang secara tertulis menunjukkan kebolehan terhadap perbuatan zina,” dalihnya.

Melalui Permendikbudristek ini, kata dia, peluang memasukkan pendidikan seksual, termasuk dari perspektif adat dan agama, dapat lebih terbuka dengan adanya kewajiban bagi perguruan tinggi sebagai upaya pencegahan. Dalam aspek kemanfaatan, bagaimanapun adanya Permendikbudristek ini jauh lebih baik dalam rangka mendorong penghapusan kekerasan seksual yang dilaporkan marak terjadi, ketimbang tidak memiliki aturan sama sekali.

“Beberapa kasus yang terjadi belakangan menunjukkan betapa korban justru menanggung beban ganda akibat ketiadaan pelindungan hukum yang jelas.”

Untuk itu, PSHK menilai ketentuan dalam Permendikbudristek 30/2021 sudah tepat dalam upaya melindungi setiap orang dari tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Pengaturan serupa perlu dibentuk dan diterapkan di berbagai sektor lain, seperti ketenagakerjaan dan kepegawaian.

“Di tengah ‘miskinnya’ keberpihakan negara pada korban kekerasan seksual, Permendikbudristek 30/2021 ini menunjukkan arah politik hukum pemerintah yang penting. Mengingat pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga kini belum rampung dan substansinya terus mengalami reduksi keberpihakan pada korban.”

Sebelumnya, Permendikbudristek 30/2021 ini menimbulkan kontra di masyarakat. Kritikan datang dari Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifa Amaliah. Dia melihat selain tidak mencantumkan nilai-nilai Pancasila, beleid ini cenderung mengandung nilai/unsur liberalisme. Misalnya, memasukkan kata “persetujuan korban” atau dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang digunakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek itu. Pasal 5 ayat (2) mengatur beberapa tindakan atau perilaku masuk dalam tindakan kekerasan seksual bila tanpa “persetujuan” dari korban.

“Ditambah tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini,” kritiknya.

Ketua Presidium Majelis Ormas Islam (MOI) Nazar Haris menilai banyak poin dalam beleid tersebut bermasalah dan potensi menjadi polemik di masyarakat dalam implementasinya. Menurutnya, Permendikbudristek 30/2021 mengadopsi draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah ditolak masyarakat di DPR periode 2014-2019.

Menurutnya, poin yang dikritisi dan ditolak, antara lain soal paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent). Paradigma itu memandang standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual berdasarkan persetujuan para pihak, bukan nilai agama. Begitupula soal penggunaan definisi relasi kuasa dan gender tak mengambil dari Pancasila. Tapi, malah dari konstruksi berpikir dunia barat yang bertentangan dengan dunia ketimuran dan fitrah penciptaan manusia.

Untuk itu, MOI meminta beleid tersebut diubah atau diganti dengan aturan baru yang sejalan dengan nilai-nilai dalam sila Pancasila. Termasuk perumusan dan pembahasannya melibatkan para pemangku kepentingan. Seperti Ormas keagamaan yang menjadi pemangku kepentingan dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.

Koordinator Presidium Majelis Nasional Forum Alumni Himpunan Mahasiswa Islam-wati (Forwati) Hanifah Husein meminta menarik dan menyempurnakan Permendikbudristek 30/2021. Khususnya menghilangkan frasa “tanpa persetujuan korban”. Dia menilai keberadaan frasa itu membuka celah kebolehan melakukan kekerasan seksual, memantik, sekaligus memberi peluang terjadinya perzinahan atas dasar persetujuan alias suka sama suka.

“Kekerasan seksual dan berbagai implikasinya harus dipandang tidak dalam konteks hubungan personal, tapi hubungan sosial dalam keseluruhan konteks kebudayaan dengan berbagai nilai dan norma agama yang berlaku di masyarakat,” katanya.

Tags:

Berita Terkait