Pungli Hanya Puncak Gunung Es, Justru Ini yang Lebih Bahaya!
Sikat Pungli:

Pungli Hanya Puncak Gunung Es, Justru Ini yang Lebih Bahaya!

Lebih berbahaya maladministrasi yang berujung korupsi.

NOV
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Masih ingat ucapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai mendapat kritikan atas instruksinya memberantas pungutan liar (pungli) di Kementerian Perhubungan? Ya, Jokowi mengatakan, jangankan puluhan atau ratusan juta, urusan Rp10 ribu pun akan ia urus. Sebab, urusan pungli, meskipun kecil, tetapi menjengkelkan.

Pernyataan Jokowi ini menunjukkan betapa fenomena pungli telah menggerogoti sendi-sendi pelayanan publik. Dari urusan minta surat keterangan di kelurahan, bongkar muat di pelabuhan, penerimaan peserta didik baru di sekolah, sampai pelayanan publik di tingkat pusat tak luput dari potensi pungli.

Oleh karena itu, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden No.87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih (Satgas Saber) Pungli pada 20 Oktober 2016. Tak tanggung-tanggung, Satgas yang dikomandoi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) ini diberi kewenangan operasi tangkap tangan.

Hasilnya, cukup menghebohkan. Baru-baru ini, Tim gabungan Satgas Saber Pungli bersama kepolisian menggelar operasi tangkap tangan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Sejumlah oknum ditangkap, hingga akhirnya berkembang menjadi penangkapan Direktur Operasional dan Pengembangan Bisnis PT Pelindo III.

Atas fenomena pungli tersebut, Ombudsman RI yang merupakan salah satu anggota Satgas Saber Pungli membuka hasil temuannya. Memang, fokus besar Ombudsman adalah maladministrasi pelayanan publik. Namun, dari berbagai bentuk turunan maladministrasi itu, ada sebagian yang berujung pada pungli dan suap.

Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala mengatakan, tidak salah jika Presiden berfokus  pada pungli. Bisa jadi, Presiden ingin melakukan pendekatan dari yang kecil-kecil, kemudian yang besar. Terlebih lagi, Presiden ingin kebijakan yang mengena bagi masyarakat, berdampak luas, dan langsung dirasakan efeknya oleh masyarakat.

Akan tetapi, menurut Adrianus, meski pemerintah berkutat dengan pungli, Ombudsman tetap berjalan pada jalurnya untuk mengawasi maladministrasi pelayanan publik. Ia mengibaratkan pungli sebagai puncak gunung es. Sedangkan, yang lebih berbahaya. Adalah maladministrasi yang berujung pada tindak pidana korupsi.

“Janganlah semua perhatian, emosi, dan sekaligus perasaan kitadicurahkan pada pungli. Sebab, pungli lebih kepadagunung es yang kelihatan. Yang sebetulnya lebih berbahaya, justru lebih besar, yang tidak kelihatan, ya potensi maladministrasi yang kemudian berujung pada gratifikasidan korupsi,” katanya saat ditemui hukumonline di kantornya.

Berdasarkan data Ombudsman per 30 September 2016, laporan dugaan maladministrasi yang diduga berkaitan dengan pungli atau suap pada 2016 meningkat 13 persen dari tahun 2015, yakni sebesar 384 menjadi 434. Sementara, peningkatan mencolok, tetap “dirajai” maladministrasi dalam bentuk “penundaan berlarut” sekitar 70,3 persen.
Perkembangan Laporan Dugaan Maladministrasi
2015-2016 (Per September 2016)
Maladministrasi20152016Perubahan
Penundaan Berlarut
11 Laporan Perhari
1319 2246 70,3 %
Tidak Memberikan Pelayanan
5 Laporan Perhari
874 1052 15,2 %
Suap dan Pungli
2 Laporan Perhari
384 434 13 %
Laporan Dugaan Maladministrasi Berdasarkan Sektor
Per September 2016
MaladministrasiPersentaseSektor
Penundaan Berlarut
11 Laporan Perhari
51 % Penegakan Hukum
Tidak Memberikan Pelayanan
5 Laporan Perhari
14 % Perhubungan & Infrastruktur
Suap dan Pungli
2 Laporan Perhari
45 % Pendidikan
Sumber : Ombudsman RI

Mengacu data Ombudsman, jumlah kasus dugaan pungli memang tak sebanyak “penundaan berlarut” dan “tindak memberikan pelayanan”. Pasalnya, lanjut Adrianus, tidak setiap tindakan maladministrasi berujung pada permintaan uang atau imbalan. Ada pula maladministrasi yang tidak disertai dengan uang.

Maladministrasi sendiri, pada dasarnya berkaitan dengan kewenangan aparat pelayanan publik. Jika kewenangan tidak digunakan atau digunakan secara terlambat, berlebihan, tidak proporsional, diskriminatif, tidak sesuai prosedur, dan tidak pada tempatnya, semua itu dapat dikategorikan sebagai maladministrasi. (Baca Juga: Waspadai Modus Pungli dan Potensi Korupsi)

Adrianus berpendapat, maladministrasi bisa terjadi di tahapan formulasi kebijakan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Apabila “pertukaran” antara kewenangan dan uang terjadi dalam tahapan formulasi dan perencanaan, bukan lagi dikategorikan sebagai pungli, melainkan gratifkasi atau korupsi.

Sudah banyak kasus korupsi di tataran perencanaan dan formulasi kebijakan yang terungkap di persidangan. Sebut saja kasus suap mantan Gubernur Riau Rusli Zainal. Rusli terbukti menyalahgunakan kewenangannya untuk penerbitan izin kehutanan terhadap sembilan perusahaan yang merugikan negara Rp265 miliar.

“Jadi, seperti nitip agenda buat saya sebagaipolicy maker. Lalu, dengan mengirimkan parsel dan lain-lain. Pada tahap formulasi, pembuatan kebijakan, itu jugabukan pungli, tapi korupsi.Nah, di implementasi inilah yang kemungkinan terjadi pungli. Begituprogram turun menjadi proyek, jadi kegiatan, di kegiatan lah yang ada pungli,” ujar Adrianus.

Dalam situasi terkecil inilah, sambung Adrianus, potensi pungli bisa terjadi. Di mana, ada masyarakat yang meminta kewenangan si aparat pelayanan publik digunakan, dan dalam rangka meminta kewenangan tersebut, terjadilah “trade off”. Namun, tidak lantas masyarakat yang sepatutnya disalahkan. (Baca Juga: Pungli Peradilan: “Belum Digoda, Malah Digoda Duluan”)

Ia menilai, wajar saja jika masyarakat berusaha mencari jalan pintas. Justru yang seharusnya disalahkan adalah aparat pelayanan publik selaku pihak yang memiliki jabatan dan kewenangan. Ia menyayangkan, banyak aparat yang memiliki kewenangan, tetapi tidak mengerti marwah dari kewenangannya.

“Padahal,itu yang membedakan antara orang yangberkewenangan dengan orangyang tidak berkewenangan. Alhasil,ada sajapara pejabat di Indonesia yang kemudian melihat kewenangannya dalam rangka ‘komoditi’. Itu yang menurut sayakacau.Disini repotnya, ketika ternyata ada pejabat yang mempunyai budaya kerja korup,” terangnya.

Terlepas dari itu, sekali lagi Adrianus mengingatkan bahwa pungli hanyalah puncak gunung es. Sebagian besar oknum yang terkena sanksi akibat pungli pun oknum-oknum di level bawah. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, Polri melakukan operasi dan menangkap sejumlah oknum aparat yang melakukan pungli tilang.

Ia menyatakan, meski sudah banyak oknum aparat yang ditangkap terkait pungli tilang, mayoritas berpangkat bintara. Lantas, bagaimana dengan oknum di level perwira menengah (Pamen) atau perwira tinggi (Pati)? Apakah pimpinan dari para bintara itu tidak mengetahui apa-apa soal pungli yang mereka lakukan? (Baca Juga: Pendidikan Sektor “Ter-pungli”, Aplikasi Android Jadi Pilihan Solusi)

Dan, mengapa pula, kasus, seperti perwira yang dahulu kedapatan membawa ratusan juta di Mabes Polri seolah menghilang dari pemberitaan? Sebagaimana diketahui, pada 2013 lalu, Mabes Polri sempat dihebohkan dengan insiden AKBP ES dan Kompol JAP yang kedapatan membawa uang ratusan juta di Gedung Utama Mabes Polri.

Pernyataan Adrianus ini sekaligus mengingatkan agar masyarakat tidak larut dalam euforia pungli. Menurutnya, hal itu tidak memberikan pembelajaran bagi oknum di level atas. “Jadi, jangan dong hanya pungli-pungli saja yang dikejar. Saya tidak mengatakan pungli itu benar. Tapi, itu memang hanya level mereka (bawah),” tuturnya.
Tags:

Berita Terkait