R Soeleiman E Koesoema Atmadja, Doktor Hukum dari Leiden yang Pro-Republik
Tokoh Hukum Kemerdekaan

R Soeleiman E Koesoema Atmadja, Doktor Hukum dari Leiden yang Pro-Republik

Koesoema Atmadja adalah anggota penasihat hukum pemerintah dalam perundingan-perundingan melawan Belanda. Setelah merdeka, ia ditunjuk menjadi Ketua Mahkamah Agung yang pertama. Dikenang sebagai hakim yang berwibawa.

Muhammad Yasin
Bacaan 6 Menit

Untuk mewujudkan Indonesia Merdeka dimaklumi akan disertai perubahan pemerintahan, yang bagaimanapun juga tidak perlu menempuh cara-cara kekerasan dan illegal(Kutipan ini merupakan bagian dari pertimbangan dalam putusan ketika Koesoema Atmadja bertugas di Landraad Batavia, 21 Juli 1934. Dikutip dari Pompe, 2012: 66).

Berwibawa dan Memuji Jenderal Sudirman

Salah satu peristiwa yang insiden yang disebut Pompe sebaga yang paling serius secara politis adalah ketika Mahkamah Agung harus mengadili dan memutus perkara orang-orang besar yang diduga terlibat dalam periswa 3 Juli 1946. Peristiwa ini diduga sebagai upaya menggulingkan pemerintah. Puncaknya adalah penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir.

Pada bulan Juli itu juga Presiden Soekarno menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1946 tentang Mengadakan Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa. Koesoema Atmadja diangkat sebagai ketua. Ia dibantu anggota hakim militer (Muhammad, Suwardi, Sukono Joyopratigno), anggota ahli hukum (Soerjotjokro, Prof. Soepomo, dan Mr Mohamad Roem), dan panitera (Subekti). Memimpin persidangan ini adalah tantangan bagi Koesoema Atmadja karena yang diadili adalah tokoh-tokoh nasional, sebagian adalah temannya sebagai orang berlatar belakang hukum seperti Iwa Kusuma Sumantri, Muhammad Yamin, dan Budiarto Martoatmodjo.

Dalam biografi yang ditulis Muchtaruddin Ibrahim, Koesoema Atmadja digambarkan sebagai hakim yang berwibawa, bersikap tegas kepada para terdakwa, tegas pada saksi, pembela dan penuntut umum. Meskipun yang diadili dan menjadi saksi adalah tokoh-tokoh nasional, Koesoema Atmadja menunjukkan ketegasannya. Panglima Besar Jenderal Soedirman termasuk yang menjadi saksi dalam perkara ini. Meskipun sibuk bergerilya dan punya jabatan tinggi, Soedirman memenuhi panggilan sidang yang dipimpin Koesoema Atmadja. Sang hakim memuji sikap Jenderal Soedirman yang hadir tepat waktu ke persidangan. “Inilah bukti seorang warga negara yang patut pada hukum negara”. Dalam putusannya 27 Mei 1948, pengadilan menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa: R.P Sudarsono dan Yamin dihukum empat tahun penjara potong masa tahanan; Ahmad Subardjo, Buntaran Martoatmodjo dihukum 2 tahun; Iwa Kusuma Sumantri 3 tahun, Budiarto Martoatmodjo dan Muhammad Saleh masing-masing 2,5 tahun penjara. Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna dan terdakwa lain dinyatakan tidak bersalah. Peristiwa Juli 1946 ini banyak ditulis dalam buku-buku sejarah.

Koesoema Atmadja menjalankan tugasnya dengan baik, dan berusaha bersikap independen ketika berhadapan dengan pemerintah. Ia berusaha membangun martabat para hakim dan kelembagaan Mahkamah Agung. Ia dikabarkan pernah marah besar pada suatu jamuan resmi kenegaraan pada 1951 karena tidak diberi tempat duduk sesuai dengan posisinya sebagai Ketua Mahkamah Agung. Ketika membahas tipikal masing-masing Ketua Mahkamah Agung, Pompe memasukkan Koesoema Atmadja – dan Subekti-- sebagai hakim tangguh, yang berusaha memberlakukan nilai-nilai kelembagaan pengadilan atas lembaga-lembaga negara lain, dan melakukan hal terbaik untuk menegakkan disiplin internal dan moral.

Tags:

Berita Terkait