Ragam Alasan Usul Permenaker Outsourcing Direvisi
Berita

Ragam Alasan Usul Permenaker Outsourcing Direvisi

Karena berlakunya Permenaker Outsourcing pada akhirnya bakal merugikan buruh/pekerja outsourcing dan perusahaan outsourcing profesional.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Bagi Timboel, pengalihan kewenangan dan melokalisir penerapan sanksi ini akan berdampak pada proses pemberian sanksi membutuhkan waktu lebih lama. Bahkan, membuka peluang terjadinya ketidakpastian hukum.

 

Ketiga, bentuk badan hukum perusahaan outsourcing yang tadinya dibatasi hanya PT, sekarang boleh dalam bentuk badan hukum lainnya. Kewajiban lainnya juga dihapus seperti memiliki tanda daftar perusahaan; bukti wajib lapor ketenagakerjaan; izin operasional; kantor dan alamat tetap; dan NPWP perusahaan. Penghapusan kewajiban ini akan memicu pengelolaan perusahaan outsourcing yang tidak profesional.

 

Keempat, izin usaha perusahaan outsourcing berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Aturan sebelumnya, izin diterbitkan disnaker provinsi dan berlaku di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut. Ketentuan ini melemahkan pengawasan dan evaluasi disnaker provinsi terhadap perusahaan outsourcing.

 

Kelima, izin usaha berlaku “seumur hidup” yakni selama perusahaan outsourcing itu menjalankan usahanya. Sebelumnya izin operasional berlaku 3 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Dihapusnya ketentuan ini membuat proses evaluasi kinerja perusahaan outsourcing tidak ada lagi. Padahal, evaluasi kinerja ini menjadi syarat disetujui atau ditolaknya permohonan izin baru.

 

“Penghapusan jangka waktu izin ini melebihi kebiasaan (kelaziman) proses perizinan yang selama ini ada, bukankah (berbentuk) SIUP, TDP, dan ketentuan lain ada masa berlakunya,” kritik Timboel.

 

Keenam, Pasal 27 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 mewajibkan perusahaan outsourcing membuat perjanjian kerja tertulis dengan buruh. Jika perjanjian kerja ini tidak dicatatkan, disnaker provinsi diperintahkan untuk mencabut izin operasional perusahaan outsourcing yang bersangkutan. Sayangnya, Permenaker No.11 Tahun 2019 menghapus ketentuan ini, sehingga pelanggaran pencatatan perjanjian kerja tidak dikenakan sanksi.

 

Dari berbagai poin perubahan pasal-pasal itu, Timboel mencatat setidaknya ada 4 dampak buruk yang akan muncul. Pertama, perusahaan outsourcing yang tidak profesional akan semakin menjamur. Ini menyebabkan persaingan tidak sehat antar perusahaan outsourcing, sehingga merugikan buruh dan perusahaan outsourcing yang profesional.

Tags:

Berita Terkait