Rasio Legis Mengeluarkan Status Jaksa dari Rumpun ASN
Utama

Rasio Legis Mengeluarkan Status Jaksa dari Rumpun ASN

Antara lain agar lebih leluasa dalam proses rekrutmen dan memiliki budaya kerja yang berbeda.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak (paling kiri). Foto: RES
Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak (paling kiri). Foto: RES

Status jaksa yang memiliki karakter khusus tetap masuk dalam rumpun aparatur sipil negara (ASN). Padahal bila ditelisik, pola yang terdapat dalam Kejaksaan memiliki budaya kerja yang berbeda dengan ASN. Karena itulah, melalui perubahan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, status jaksa perlu diperjelas dengan mengeluarkan dari rumpun ASN serta pengaturan dalam rumusan norma.

Hal tersebut diutarakan oleh Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak. Menurutnya, perlunya penegasan secara gamblang dalam rumusan norma RUU Kejaksaan bahwa jaksa sebagai profesi hukum yang memiliki karakteristik yang tidak dapat dimiliki oleh ASN. “Mengeluarkan jaksa dari rumpun ASN,” ujarnya dalam memberikan sejumlah masukan pengaturan dalam RUU Kejaksaan di Komplek Gedung Parlemen beberapa waktu lalu.

Barita menjelaskan terdapat sejumlah rasio legis keharusan jaksa dikeluarkan dari rumpun ASN. Pertama, Kejaksaan secara kelembagaan memiliki lembaga pengawasan khusus. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan penyidikan kasus korupsi serta penuntutan sebuah perkara pidana, pengawasan internal dilakukan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), sedangkan pengawasan eksternal dilakukan Komisi Kejaksaan. Sementara ASN, pengawasannya dilakukan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b UU 5 Tahun 2014 tentang ASN.

Kedua,  jabatan jaksa sejatinya tidak dapat dimasukkan dalam rumpun jabatan fungsionaris ASN. Alasannya karena jabatan jaksa berbeda halnya dengan jabatan publik lainnya yang terbuka untuk publik. Sementara jaksa, memiliki pendidikan khusus dalam menjalankan profesi jaksa dalam kerja-kerja penuntutan.

Ketiga, pengisian jabatan pimpinan tinggi di Korps Adhyaksa berbeda ketentuannya dengan di UU ASN. Dia mencontohkan, peruntukan jabatan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) tidak dilakukan pembukaan lowongan secara terbuka, namun disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Kejaksaan.

Keempat, adanya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30P/HUM/2020 tanggal 4 Juni 2020, yang menegaskan profesi jaksa tak hilang, meski jaksa ditugaskan di luar instansi Kejaksaan. Kelima, dalam sistem peradilan pidana, hakim dan penyidik Polri tidaklah berstatus pegawai negeri sipil atau ASN. Sementara jaksa masih dikategorikan sebagai PNS/ASN.

Barita membandingkan status kepegawaian di Kepolisian dibedakan menjadi dua, yakni anggota Kepolisian dan PNS. Dengan status tersebut, anggota Kepolisian tidak terikat dengan aturan kepegawaian yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN).

Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar menambahkan pengaturan Pasal 7 dalam draf RUU Kejaksaan menjadi penting. Dia beralasan dengan personil Kejaksaan masuk rumpun ASN kerap kali mengalami hambatan dan masalah dalam penilaian kinerja jaksa. Seperti jam kerja PNS dihitung 8 jam kerja sejak pukul 7.00 WIB-16.00 WIB. Tapi faktanya, ketika jaksa menangani perkara, persidangan dimulai sore atau malam dalam kasus korupsi misalnya.

Menurutnya, kasus korupsi persidangan boleh jadi hingga tengah malam. Nah, jam kerja tersebut tak dapat dihitung. Baginya, melihat jam kerja penegak hukum berbeda halnya dengan PNS yang disamakan dengan jumlah kuantitas. Misalnya, bila secara administrasi laporan kinerja, di Kejaksaan bisa dihitung berdasarkan banyaknya jumlah perkara yang ditangani. Padahal, indikator-indikator kinerja boleh jadi berbeda.

Baca:

Keleluasaan Perekrutan SDM

Khusus perekrutan sumber daya manusia (SDM), Barita berpendapat, institusi Kepolisian tiap tahunnya dapat merekrut anggota baru. Sementara Kejaksaan secara institusi tak dapat merekrut jaksa baru. Sebabnya itu tadi, Kejaksaan masuk dalam rumpun ASN, sehingga mengikuti kebijakan moratorium selama beberapa tahun. Dampaknya, Kejaksaan kekurangan tenaga jaksa dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.

“Sehingga kalau diberikan status kekhususan maka hal-hal seperti ini (kekurangan sumber daya, red) jaksa baru bisa diatasi,” ujarnya.

Karena itulah, kata Barita, Komisi Kejaksaan mengusulkan jaksa merupakan pejabat yang melaksanakan tugas dan wewenang berdasarkan UU Kejaksaan terbaru, yakni terdiri dari pegawai Kejaksaan dan ASN. Dengan begitu, terdapat ASN yang pengaturannya diatur dengan UU ASN beserta aturan turunannya. Sementara mengenai jaksa diatur dengan peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam draf RUU Kejaksaan.

Pasal 7 ayat (1) menyebutkan, “Pegawai Kejaksaan terdiri atas: a. Jaksa; dan b. aparatur sipil negara. (2) Ketentuan mengenai pegawai Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dalam Peraturan Pemerintah. (3) Terhadap aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara”.

Sementara Dio menilai, dalam proses rekrutmen dengan berstatus rumpun ASN menyulitkan Kejaksaan karena proses rekrutmen menjadi terkendala. Pasalnya Kejaksaan terlebih dahulu harus berkoordinasi dengan Kemenpan-RB dengan mengikuti proses rekrutmen ASN pada umumnya. Sedangkan kepolisian dan kehakiman memiliki kekhususan dan keleluasaan dalam pola rekrutmen.

“Di situlah saya melihat Kejaksaan penting untuk diatur secara khusus sebagai nomenklatur khusus di RUU Kejaksaan,” ujar Dio.

Tags:

Berita Terkait