Revisi UU Penyiaran Berpotensi Timbulkan Multi Tafsir Hingga Halangi Kebebasan Pers
Terbaru

Revisi UU Penyiaran Berpotensi Timbulkan Multi Tafsir Hingga Halangi Kebebasan Pers

Terdapat perluasan cakupan wilayah penyiaran dari media konvensional seperti TV dan radio, menjadi penyiaran digital. Alhasil, latform digital layanan over the top (OTT) atau tv streaming seperti Netflix dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

Selain itu, draf RUU Penyiaran memuat larangan atas tayangan yang menampilkan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif, dan larangan atas rekayasa negatif informasi dan hiburan. ”Ketentuan ini sangat multitafsir, dan oleh karenanya berpotensi disalahgunakan,” ujarnya.

Sementara itu, Pengurus Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Bayu Wardhana menyampaikan konsekuensi lain dari perluasan dalam RUU Penyiaran adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan KPI. Hal ini dinilai dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan. Sebab selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Pada pasal 25 ayat 1q disebutkan wewenang menangani sengketa jurnalistik hanya oleh KPI. Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik,” kata Bayu.

Selain itu, Pasal 56 ayat (2) dalam draf RUU Penyiaran juga memuat larangan atas penayangan eksklusif jurnalistik investigasi (huruf c), sehingga klausul ini dinilai dapat mengancam kebebasan pers.

“Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata,” ujarnya.

Bayu menilai proses RUU Penyiaran dinilai terburu-buru dan tidak transparan. Bayu mengingatkan bahwa draf RUU harus dibahas ulang dengan melibatkan lebih luas aktor mengingat masih terdapat banyak pasal bermasalah yang berpotensi mematikan kreativitas di ruang digital. Dia mengatakan, pasal yang mengancam kebebasan pers pun perlu segera dicabut.

“Pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers harus dihapus dari draft RUU ini. Jika hendak mengatur karya jurnalistik di penyiaran, sebaiknya merujuk pada UU Pers No 40/1999. Pada konsideran draft RUU ini sama sekali tidak mencantumkan UU Pers,” pungkasnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno menilai bahwa UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang eksis saat ini belum mengakomodasi perkembangan teknologi terbaru. Maka dari itu, RUU Penyiaran menjadi suatu hal yang urgen. Terlebih, revisi UU 32/2002 telah lama tertunda

"UU penyiaran yang disahkan pada tahun 2002 belum mengakomodasi perkembangan teknologi saat ini. Sejak tahun 2011 atau 2012, upaya revisi terus berjalan tanpa titik terang,” ujanya sebagaimana dikutip dari laman DPR.

Tags:

Berita Terkait