Revolusi Industri 4.0 Ubah Relasi Hubungan Kerja? Begini Pandangan Pengusaha dan Akademisi
Utama

Revolusi Industri 4.0 Ubah Relasi Hubungan Kerja? Begini Pandangan Pengusaha dan Akademisi

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu direvisi untuk mengakomodir perkembangan revolusi industri 4.0 yang berdampak terhadap ketenagakerjaan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Kepala Apindo Research Center, Agung Pambudhi, mengatakan pemerintah perlu melakukan reformasi di bidang ketenagakerjaan. Paling mendesak yaitu merevisi seluruh peraturan ketenagakerjaan salah satunya UU Ketenagakerjaan. Revisi itu dibutuhkan untuk mengakomodir perkembangan revolusi industri 4.0 karena akan terjadi banyak perubahan seperti relasi hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. “Soal pengupahan, ke depan perlu ada kebijakan yang mengaitkan antara upah dengan produktivitas,” usulnya.

 

Agung mencatat pelaku industri usaha di sejumlah sektor seperti makanan dan minuman, serta sepatu memperkirakan lima tahun ke depan produksi mereka bisa meningkat tiga kali. Walau produksi meningkat tapi perekrutan tenaga kerja di sektor tersebut tidak signifikan karena mereka telah melakukan automasi pada sebagian proses produksi. “Ini tantangan bidang ketenagakerjaan di era revolusi industri 4.0,” paparnya.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Agusmidah, mengatakan tidak tepat jika hubungan kerja yang diatur UU Ketenagakerjaan diganti menjadi lebih fleksibel karena mayoritas tenaga kerja di Indonesia tergolong belum memiliki keterampilan yang mumpuni. Hubungan kerja yang sifatnya fleksibel itu lebih tepat digunakan untuk pekerja profesional.

 

Jika hubungan kerja yang fleksibel itu dilaksanakan, Agusmidah mengatakan yang akan terjadi yaitu situasi buruk di tempat kerja seperti yang terjadi di masa perbudakan. “Ingat, sejarah perbudakan itu terjadi karena negara tidak campur tangan. Fleksibilitas juga meniadakan campur tangan negara, sedangkan Indonesia ini secara tegas sebagai negara hukum,” katanya kepada Hukumonline melalui pesan singkat, Kamis (6/12).

 

Mengenai kemitraan, Agusmidah menegaskan basisnya harus keseimbangan para pihak. Misalnya, dalam perjanjian kerja harus dibuat berdasarkan prinsip kesepakatan bersama. Tapi faktanya, perjanjian kerja dibuat sepihak oleh pengusaha sehingga pekerja terpaksa menandatanganinya. “Itulah fungsi negara untuk hadir menetralkan ketidakseimbangan itu dengan cara membuat regulasi. Regulasi berisi batasan dan sanksi bagi pihak yang melanggar,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait