RUU Hukum Acara Perdata Bukan Prioritas dalam Prolegnas, Mengapa?
Konferensi ADHAPER 2018:

RUU Hukum Acara Perdata Bukan Prioritas dalam Prolegnas, Mengapa?

Dirancang sejak lama, RUU Hukum Acara Perdata belum menjadi prioritas. Dinamika politik mempengaruhinya.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Suasana konferensi Hukum Acara Perdata yang diselenggarakan Adhaper di Jember, Jawa Timur, Agustus 2018. Foto: Edwin
Suasana konferensi Hukum Acara Perdata yang diselenggarakan Adhaper di Jember, Jawa Timur, Agustus 2018. Foto: Edwin

Selama puluhan tahun, RUU Hukum Acara Perdata telah disusun dengan melibatkan akademisi dan praktisi. Badan Pembinaan Hukum Nasional sudah berkali-kali menyelenggarakan forum diskusi untuk mendapatkan masukan. Tetapi hingga kini, proses penyusunan dan pembahasan RUU Hukum Acara Perdata di Senayan masih belum jelas.

 

Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Widodo Ekatjahjana, menjelaskan bahwa dorongan pengesahan RUU Hukum Acara Perdata membutuhkan sinergi dari kalangan akademisi, praktisi, dan masyarakat sekaligus. Kenyataannya, hukum acara perdata telah berkembang dalam praktik, dan peraturannya tersebar di berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Itu yang membuat upaya kodifikasi dan unifikasi hukum acara perdata dalam satu undang-undang menjadi pekerjaan berat.

 

“Saya berharap ada penguatan untuk Pemerintah soal rasionalisasi, kenapa ADHAPER mendorongnya revisi hukum acara perdata? Bukan hukum perdata dulu,” katanya dalam pidato kunci pembuka Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata V yang diselenggarakan Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER) di Jember, Jawa Timur, Jumat (10/8).

 

Widodo, Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Jember, mengaku politik unifikasi hukum bukan hal yang mudah dijalankan oleh Pemerintah. Dalam bidang hukum acara perdata, saat ini hukum acara perdata telah berkembang dalam berbagai undang-undang sektoral di beberapa pengadilan khusus. Misalnya Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Niaga. Kedua pengadilan perdata khusus ini memiliki hukum acara tersendiri di luar HIR dan RBg.

 

(Baca juga: Pengadilan yang Berwenang Mengadili Sengketa Perbankan Syariah)

 

Belum lagi saat ini telah muncul berbagai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang juga berisi hukum acara perdata. Ia mengharapkan rekomendasi ADHAPER bisa menyeluruh atas berbagai perkembangan yang termasuk alat bukti formal dalam persidangan yang sudah mengenal alat bukti elektronik di undang-undang tertentu. “Supaya kita punya satu kitab undang-undang hukum acara perdata yang terintegrasi, memiliki kepastian karena tidak berpencar kemana-mana,” katanya mengutarakan harapan kepada peserta konferensi.

 

Sebenarnya, berdasarkan catatan hukumonline, RUU Hukum Acara Perdata pernah masuk Prolegnas pada 2004 silam. Tahun berganti tahun, dan anggota Baleg DPR berganti, nasib RUU Hukum Acara Perdata timbul tenggelam. Kini, dalam daftar prolegnas RUU prioritas 2018 tak tercantum lagi. Apa yang mempengaruhinya?

 

Menjawab pertanyaan hukumonline, Widodo menjelaskan Prolegnas adalah kesepakatan politik yang sangat dinamis. Daftar prioritas dalam Prolegnas dipengaruhi oleh beragam sebab. “Kadang melihat urgensi yang aktual dibutuhkan, ada nggak isu nasional yang meminta jadi mendesak?” katanya.

 

Salah satu parameternya adalah hasil kesepakatan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. “Prolegnas itu kan pembahasannya antara BPHN dengan Baleg. Mereka nanti yang akan mendiskusikan ini mendesak atau tidak,” katanya.

 

Parameter lain yang disebutkan Widodo adalah ada atau tidaknya putusan Mahkamah Konstitusi yang menuntut revisi suatu undang-undang. “Kalau karena putusan MK, itu bisa langsung. Tidak usah menunggu di Prolegnas, tapi khusus pada pasal yang dibatalkan. Nah ini maunya kan semua,” jelas Widodo.

 

(Baca juga: Apa Kabar Perubahan Hukum Acara Perdata Nasional?)

 

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM, Benny Riyanto menambahkan bahwa ia memahami upaya revisi hukum acara perdata dipilih lebih dulu ketimbang revisi kitab undang-undang hukum perdata karena berkaitan proses penegakan hukum.

 

Benny, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Diponegoro Semarang, memaklumi bahwa prioritas pembaharuan hukum acara berkaitan sebagai upaya perbaikan citra peradilan. “Prosedur beracaranya harus tertib dulu. Makanya di hukum pidana pun KUHAP lahir tahun 1981, lebih dulu ketimbang RUU KUHP,” jelasnya kepada hukumonline usai acara.

 

Diwawancarai hukumonline secara terpisah, Ketua ADHAPER, Efa Laela Fakhriah menjelaskan RUU Hukum Acara Perdata sebenarnya dirancang dalam periode bersamaan dengan KUHAP. “Tahun 1987 saya sudah terlibat untuk membantu merumuskan di UGM, waktu saya masih dosen muda, dipimpin oleh Prof.Sudikno,” katanya. Efa mencatat RUU Hukum Acara Perdata terus disempurnakan versi tahun 1997, tahun 2003, tahun 2007, tahun 2012, tahun 2015, dan terakhir tahun 2017 lalu.

 

(Baca juga: Surat Kuasa, Kunci Segala Pintu Masuk Beracara)

 

Ia menduga bahwa ada pandangan yang keliru melihat hukum acara perdata tidak bernilai penting bagi pencari keadilan. Padahal ada banyak persoalan yang berkaitan dengan kepentingan sengketa bisnis akan terbantu dengan hukum acara perdata yang diunifikasi dalam satu undang-undang.

 

Hal ini dibenarkan Basuki Rekso Wibowo, ahli hukum acara perdata Universitas Airlangga ini menngatakan pada hukumonline bahwa mekanisme small claim court ternyata justru banyak diminati perbankan untuk mengatasi kredit macet. “Tadinya kami merancang itu untuk perkara biasa, tidak terbayang untuk keperluan bisnis, ternyata Bank yang banyak menggunakan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait