RUU KIA dan Rasionalitas Cuti Melahirkan Enam Bulan
Terbaru

RUU KIA dan Rasionalitas Cuti Melahirkan Enam Bulan

Diperlukan pengkajian ulang terhadap RUU KIA agar sejumlah aspeknya, tidak merugikan pihak perempuan.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 6 Menit
RUU KIA dan Rasionalitas Cuti Melahirkan Enam Bulan
Hukumonline

DPR RI baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA)--sebagai payung hukum yang diharapkan dapat mengurangi angka stunting di Indonesia. Di dalamnya, telah diatur cuti melahirkan selama enam bulan, juga cuti suami selama 40 hari untuk mendampingi istri selama masa kelahiran.

 

RUU KIA didasarkan pada pertimbangan pemerintah atas hak untuk hidup dan melangsungkan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Kondisi mengandung selama sembilan bulan; lalu setelahnya harus merawat anak dan memberikan ASI secara rutin disadari bukanlah hal yang mudah dikerjakan sambil bekerja. Pascamelahirkan, ibu dan anak butuh dukungan.

 

Perhatian negara terhadap kesejahteraan ibu dan anak sendiri merupakan hal yang harus diapresiasi. Masalah malnutrisi, terutama stunting harus menjadi perhatian serius, mengingat Indonesia sedang dalam tahap menyambut generasi emas. Berikut adalah sejumlah pengaturan yang menjadi pembahasan utama dalam RUU KIA.

 

1. Hak ibu selama masa kehamilannya bagi yang bekerja

Mengatur bahwa seorang ibu yang merupakan pekerja dan akan melahirkan tidak boleh diberhentikan dari pekerjaannya, karena perusahaan haruslah memberikan cuti melahirkan paling sedikit 6 (enam) bulan dan tetap memperoleh haknya secara penuh 100% (seratus persen) untuk 3 (tiga) bulan pertama dan 75% (tujuh puluh lima persen) untuk 3 (tiga) bulan berikutnya.

2. Hak suami dalam menjamin pemenuhan hak ibu

Dalam hal ini mengatur bahwa seorang suami harus diberikan hak cuti pendampingan selama 40 (empat puluh) hari oleh perusahaan.

 

Kedua hal tersebut rupanya menimbulkan RUU KIA tak lepas dari pro dan kontra. Sejumlah pertanyaan terkait ketenagakerjaan muncul, misalnya dari sisi perusahaan: apakah perbaikan terhadap pelindungan yang sudah diberikan saat ini melalui peraturan ketenagakerjaan benar-benar diperlukan? Bagaimana dengan beberapa potensi risiko seperti kondisi perusahaan yang baru pulih usai pandemi Covid-19 dan ancaman inflasi?

 

Hal tersebut disampaikan oleh Konsultan Hukum di Kantor Hukum Yang & Co., Christian Yang, S.H., LL.M. dan Chitra Intasari, S.H., MBA. Menurut Christian, perlu dipastikan batasan serta kriteria yang jelas, mulai dari prasyarat penerima hak tersebut; mekanisme pembayaran gaji; sanksi bagi karyawan yang melakukan pelanggaran selama masa cuti; hingga dampaknya pada perkembangan investasi di Indonesia. “Apakah semua karyawan bisa mendapatkan hak cuti enam bulan dan 40 hari, mengingat posisi karyawan berbeda-beda dan memiliki keahlian dalam bidang yang berbeda-beda? Apakah perlu diatur kriteria karyawan yang dapat menikmati cuti tersebut? Dari sudut pandang perusahaan, hal ini dapat menjadi suatu kerugian, jika RUU KIA tidak menjelaskan secara detail mengenai pembatasan pemberian hak pekerja secara penuh dalam hal cuti melahirkan, serta sanksi bagi seorang ibu yang tidak memanfaatkan cutinya dengan bijak,” kata Christian.

 

Kemudahan Teknologi

Pandemi Covid-19 memaksa setiap orang beradaptasi dengan teknologi digital. Banyak hal yang dapat dikerjakan secara daring. Adapun untuk menjamin hak perusahaan agar terbentuk suatu sistem hukum yang adil, sudah seharusnya RUU KIA juga membahas pembatasan penerimaan hak secara penuh yang dapat diperoleh, ketika seseorang tetap melaksanakan kewajibannya dengan hadir secara daring; atau terdapat pemberian sanksi bagi ibu yang tidak bijak memanfaatkan cuti melahirkan dengan bekerja di perusahaan lain.

Tags: