RUU Pelelangan, Upaya Mengubah Vendu Reglement Warisan Belanda
Berita

RUU Pelelangan, Upaya Mengubah Vendu Reglement Warisan Belanda

Perlu memperhatikan perkembangan teknologi informasi. Ada masukan dari akademisi.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

RUU Pelelangan (draft kedua versi 2019) memuat 16 bab yang totalnya berisi 53 pasal. Isi RUU kemungkinan masih bertambah karena Direktorat Lelang DJKN Kementerian Keuangan masih melakukan uji publik di beberapa tempat. Salah satunya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ada beberapa masukan penting disampaikan.

Dosen FH Universitas Indonesia, Dian Puji Nugraha Simatupang, misalnya, mengusulkan agar RUU ini memperjelas bahwa risalah lelang bukan objek TUN (Tata Usaha Negara). Selama ini memang sudah ada yurisprudensi yang menyebut ridsalah lelang bukan objek TUN, tetapi penting untuk dirumuskan dalam RUU Pelelangan. Pencantuman rumusan semacam itu dapat memberikan kepastian hukum dan mengurangi perdebatan yang tak perlu.

Poin lain yang disorot Dian adalah harmonisasi RUU Pelelangan dengan perundang-undangan lain. Contohnya dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Asas publisitas diatur dalam RUU Pelelangan. Ini berarti pengumuman lelang sebagai publisitas harus memperhatikan syarat atau prosedur dan format mengumumkan sesuatu standar operasional prosedur S(OP). Dalam hal pengumuman itu bersifat daring (online), UU AP mensyaratkan pengumuman itu didahului dinyatakan dalam SOP ‘dapat’ dimumkan secara daring dan jangka waktu lebih lama.

Pengumuman secara daring sudah lazim dilakukan sekarang. Lukman membenarkan bahwa pengumuman lewat laman DJKN saja dapat diakses di mana saja, termasuk peminat dari luar  negeri.

(Baca juga: Aturan Pelelangan Barang Sitaan Negara Sedang Disiapkan).

Dian juga menyoroti pentingnya membentuk Komite Etik Profesi seperti halnya di akuntan publik. Jadi, jika ada yang mempersoalkan risalah lelang, tidak langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melainkan harus melalui banding administratif. “Harus ditetapkan Komite-nya di RUU,” usul dosen Hukum Keuangan Negara itu.

Ahli hukum telematika FH UI, Edmon Makarim lebih menyoroti proses lelang secara elektronik, terutama pentingnya memperjelas bagaimana proses penentuan pemenang lelang. Ia meminta para penyusun RUU mewaspadai imperialisme digital. Para penyusun perlu menjawab sistem elektroniknya sudah terpercaya atau belum: bagaimana jika sistem elektroniknya belum dipercaya tetapi para pihak sudah sepakat; atau sistemnya belum terpercaya dan terjadi perselisihan.

Pasal 31 RUU Pelelangan menyebutkan setiap penetapan lelang wajib dibuatkan Akta Lelang. Akta ini dibuat dalam bahasa Indonesia; dapat dibuat dan disimpan dalam bentuk digital. Akta Lelang dimaksud mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna setelah diberi legalisasi oleh Operator Lelang.

Tags:

Berita Terkait