RUU Penanganan Fakir Miskin Bukan Solusi Tunggal
Kolom

RUU Penanganan Fakir Miskin Bukan Solusi Tunggal

Adanya pemikiran akan kebutuhan terhadap RUU Penanganan Fakir Miskin ini sebenarnya justru mencerminkan bahwa keberpihakan DPR dan Pemerintah selama ini masih minim.

Bacaan 2 Menit

 

Namun, angka kemiskinan ini selalu menuai polemik dari tahun ke tahun. Penyebabnya, karena standar penilaian dari penghitungan angka kemiskinan yang selalu dipertanyakan banyak pihak. Setidaknya standar yang dimiliki BPS kerap dibandingkan dengan standar dunia milik World Bank (WB), yang juga dipakai sebagai ukuran dalam Millenium Development Goals (MDGs). Dalam standar yang dimiliki WB tercatat bahwa untuk kemiskinan absolut adalah mereka yang berpenghasilan dibawah AS$1 per hari, sedangkan untuk kemiskinan menengah berpenghasilan di bawah AS$2 per-hari. Selain itu, polemik yang terjadi juga adalah karena penurunan angka kemisikinan yang diumumkan oleh BPS seakan kontras dengan keadaan di lapangan.

 

Dalam konteks RUU Penangan Fakir Miskin, menarik untuk melihat standar apa yang digunakan perancang untuk menentukan apakah seseorang masuk dalam kategori fakir atau miskin, atau tidak keduanya. Penentuan standar kemiskinan itu akan menjadi tantangan tersendiri bagi para perancang mengingat adalah suatu keharusan mendefinisikan obyek dari suatu undang-undang. Apabila tidak, maka banyak resiko yang akan muncul, dari mulai multi tafsir dari substansi pengaturan, sampai sasaran dari undang-undang yang tidak jelas yang kemudian akan berimbas kepada keluaran yang salah sasaran.

 

Keberpihakan DPR-Pemerintah

Selain dua isu krusial di atas, penting pula untuk kita mengetahui permasalahan apa yang sebenarnya hendak diselesaikan oleh RUU ini. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu hal yang menarik dari RUU ini adalah substansinya yang berkaitan erat dengan hak konstitusional warga negara, terutama masyarakat fakir miskin atau yang termarjinalkan. Melihat dari hal itu, RUU ini lahir dari niat yang sangat baik, yang notabene sangat jarang terlihat dari aktivitas legislasi belakangan. Namun, menjadi pertanyaan kemudian apakah tepat pembentukan suatu undang-undang dalam menyelesaikan permasalahan penanganan fakir miskin?

 

Dalam menjawab pertanyaan di atas perlu terlebih dahulu melihat hakikat dari keberadaan fakir miskin itu sendiri. Pada dasarnya, masyarakat yang tergolong fakir miskin itu adalah warga negara Indonesia juga, dimana mereka memiliki hak dan posisi yang sama dengan warga negara lain, dan hak tersebut dijamin dalam konstitusi. Namun, dalam pelaksanaannya, hak konstitusi dari fakir miskin ini sangat rentan untuk terlanggar. Oleh karena itu, dalam pemenuhannya perlu bantuan dari negara, atau jaminan bahwa mereka yang tergolong fakir miskin tetap mendapatkan haknya sebagai warga negara.

 

Penjelasan di atas menegaskan bahwa permasalahan mendasar dari penanganan fakir miskin adalah berkaitan dengan pemenuhan hak konstitusionalnya. Apabila melihat secara menyeluruh, hak yang melekat kepada warga negara, yang diatur dalam UUD 1945 sangat banyak dan menyebar dalam berbagai bidang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai keseluruhan hak konstitusional adalah sangat luas, yang tidak memungkinkan untuk diatur dalam satu undang-undang saja.

 

Adanya pemikiran akan kebutuhan terhadap RUU Penanganan Fakir Miskin ini sebenarnya justru mencerminkan bahwa keberpihakan DPR dan Pemerintah selama ini masih minim. Keberpihakan DPR dan Pemerintah dalam menjamin terpenuhinya hak konstitusional fakir miskin seharusnya diberikan dalam setiap peraturan yang berkaitan, dan dalam semua tingkatan peraturan perundang-undangan, tidak hanya dipusatkan pada satu undang-undang saja. Contoh peraturan yang memerlukan keberpihakan DPR maupun Pemerintah terhadap fakir miskin atau masyarakat termarjinalkan lain adalah seperti terkait dengan Pendidikan, Kesehatan, Jaminan Sosial, atau Bantuan Hukum.

 

Dalam pertimbangan yang diberikan oleh DPR dalam Draf RUU Penanganan Fakir Miskin banyak berasal dari ketidakpuasan akan kebijakan-kebijakan selama ini. Salah satu butir konsiderans yang mencerminkan hal itu adalah, bahwa pembangunan nasional yang selama ini berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tidak sepenuhnya dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terutama fakir miskin, sehingga diperlukan kebijakan pembangunan nasional yang berpihak pada fakir miskin secara menyeluruh, terus-menerus, bertahap, dan berkesinambungan.

Tags: