RUU Penyiaran Masih Menjadi Tanda Tanya
Berita

RUU Penyiaran Masih Menjadi Tanda Tanya

Jakarta, hukumonline. Setelah Departemen Penerangan dibubarkan, masalah regulatory body menjadi tidak jelas. Inilah masalah penting dalam RUU Penyiaran yang sedang ditunggu-tunggu dan menjadi tanda tanya bagi pelaku bisnis penyiaran.

Muk/APr
Bacaan 2 Menit
RUU Penyiaran Masih Menjadi Tanda Tanya
Hukumonline

Ketua Umum Mastel (Masyarakat Telematika) Sukarno Abdulrachman mengemukakan bahwa sebaiknya tidak ada UU Penyiaran dan UU Penyiaran No. 24 Tahun 1997 dicabut. Ia mengemukakan ini sebagai kesimpulan dari presentasinya mengenai Sistem Penyiaran Nasional pada Diskusi tentang Penyiaran di Jakarta pada 16 Agustus 2000.

Menurut Sukarno, dalam sistem yang ideal sebaiknya  muatan atau content siaran tidak menjadi ranah (milik) publik, tapi merupakan industry self regulation and enforcement. Selain itu, masalah perizinan harus dipisahkan antara izin penyiaran dan izin pendistribusian. Hal ini timbul akibat paradigma baru tentang pembinaan content, sebaiknya pemerintah lepas tangan.

Pendapat ini disetujui oleh Ishadi SK, Direktur Trans-TV. Namun Ishadi mengingatkan, bahwa saat ini RUU Penyiaran justru merupakan RUU Inisiatif pertama yang diajukan DPR masa bakti 1999-2004 dan menjadi RUU yang diprioritaskan. Partisipasi kita saat ini adalah bagaimana menyelamatkan momentum yang sedang terjadi, kata Ishadi.

Mengatur dua hal

Menurut Ishadi, RUU ini penting karena dua hal. Pertama, akan mengatur masalah regulatory body. Masalah regulatory body saat ini menjadi tidak jelas. Pasalnya dalam UU No 24 Tahun 1997 yang berlaku, departemen yang menjadi driver-nya sudah tidak ada setelah Departemen Penerangan (Deppen) telah dibubarkan.

Ishadi berpendapat, regulatory body ini berlaku untuk dua sistem penyiaran, yakni penyiaran publik yang berupa TVRI dan RRI serta penyiaran komersial. Penyiaran komersial ini dari sisi bisnis dapat berfungsi untuk melindungi usaha dari praktek monopoli, oligopoli, serta pembatasan investasi.

Hal kedua, yaitu mengenai bagaimana perolehan alokasi frekuensi untuk radio swasta dan televisi. Ishadi menyatakan, pada masa Deppen dipimpin oleh M. Yunus Yosfiah, masalah izin alokasi frekwensi sangatlah terbuka, transparan, dan adil. Pada saat itu telah keluar 5 izin teve swasta baru.

Ishadi menyatakan, ada trauma di kalangan masyarakat penyiaran, misalnya pencabutan izin frekuensi. Untuk itu Ishadi mengusulkan, sebaiknya biarlah pemerintah yang melakukan pemetaan alokasi spektrum frewensi.

Alasannya menurut Ishadi, pemerintah sebagai rekan kerja ITU (International Telecomunication Union). Namun, masalah pembagian frekuensinya diserahkan kepada Badan Independen. Sebab ada kekhawatiran, jika nanti regulatory body dipegang oleh pemerintah atau partisan partai politik, maka masalah izin akan dipersulit.

Hinca Panjaitan, pengamat Media Law dari Internews Indonesia, menyatakan bahwa banyak permasalahan yang ada dalam RUU Penyiaran ini. Masalah yang ada di antaranya adalah keterkaitannya dengan masalah monopoli dan persaingan usaha.

Nantinya,  radio adalah local content yang izin frekuensinya diberikan oleh Pemda Kabupaten atau Kota yang tentunya memakai tolok ukur lokal. Sementara  tolok ukur dalam monopoli dan persaingan usaha adalah wilayah nasional.  Kalau sudah begitu, siapa bisa melarang satu orang memiliki stasiun radio di hampir setiap daerah? tukas Hinca. 

Untuk itu menurutnya, regulatory body yang independen tetap diperlukan. Frekuensi ini kan suatu ranah publik yang sifatnya sangat terbatas. Jangan sampai tersia-siakan.

Tags: