Sejumlah Catatan Negatif 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf
Terbaru

Sejumlah Catatan Negatif 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf

Antara lain penggunaan pasal karet untuk membungkam kebebasan berekspresi; Polri digunakan sebagai pelindung kekuasaan yang mengucilkan perlindungan rakyat; tidak serius memberantas korupsi dan melemahkan KPK; serta tren buruk penyusunan peraturan perundang-undangan.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa mengkritik dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin di kawasan Bundaran Patung Kuda Jakarta,  Kamis (21/10/2021). Foto: RES.
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa mengkritik dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin di kawasan Bundaran Patung Kuda Jakarta, Kamis (21/10/2021). Foto: RES.

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin sudah genap 2 tahun sejak dilantik 20 Oktober 2021. Sejumlah organisasi masyarakat sipil telah menerbitkan berbagai catatan terhadap kebijakan yang diterbitkan pemerintah Jokowi-Ma’ruf salah satunya LBH Jakarta.

Direktur Eksekutif LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan catatan lembaganya secara umum menilai agenda penguatan demokrasi, anti korupsi, dan pemenuhan HAM selama 2 tahun Jokowi-Ma’ruf tergerus oleh kepentingan ekonomi yang dikuasai oligarki. Jokowi-Ma’ruf dinilai telah menerbitkan berbagai kebijakan bermasalah seperti UU Cipta Kerja, penanganan pandemi Covid-19, dan memaksakan proyek strategis nasional (PSN).

Kebijakan yang ditelurkan Jokowi-M’aruf tak selaras dengan sumpah jabatan Jokowi-Ma’ruf ketika dilantik di gedung DPR/MPR 2 tahun silam yang berjanji memegang teguh UUD NRI Tahun 1945. “Lafal sumpah yang begitu gamblang menyebut pemenuhan HAM telah diacuhkan, terbukti dengan terbitnya kebijakan-kebijakan bermasalah,” kata Arif ketika dikonfirmasi, Senin (25/10/2021).

Arif berpendapat Jokowi-Ma’ruf tidak memiliki rasa kepedulian untuk menciptakan kebijakan yang melindungi korban. Buktinya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) tak kunjung dibahas dan disahkan. Pekerja migran Indonesia juga terus menjadi korban kekerasan karena absennya komitmen pemerintah terhadap perlindungan. Padahal pemerintah punya instrumen hukum yang cukup untuk melakukan perlindungan terhadap warganya.

“Indonesia sebagai negara pihak yang telah mengadopsi Deklarasi Hak Asasi Manusia yang juga melakukan ratifikasi terhadap Kovenan Ekonomi, Sosial, Budaya dan Kovenan Sipil dan Politik, memiliki tanggung jawab untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil),” ujar Arif. (Baca Juga: LBH Jakarta Sampaikan Catatan Negatif untuk 4 Tahun Gubernur Anies)

Di bawah kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf, Arif mencatat indeks persepsi korupsi (IPK) yang dilakukan Transparency International turun signifikan. Pelemahan KPK terjadi sangat masif, ujungnya pemecatan sepihak terhadap 57 pegawai KPK berprestasi. Demonstrasi yang mengkritik pemerintah kerap dibalas kekerasan oleh aparat kepolisian. Hal tersebut menambah daftar panjang kasus pelanggaran dan pemberangusan kebebasan sipil.

Arif mencatat sedikitnya ada 13 catatan buruk Jokowi-Ma’ruf selama memimpin pemerintahan. Pertama, kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang simpang siur. Kedua, masifnya penggunaan pasal-pasal karet untuk membungkam kebebasan berekspresi. Ketiga, institusi Polri digunakan sebagai pelindung kekuasaan yang akhirnya mengucilkan perlindungan terhadap rakyat.

Keempat, tidak serius melaksanakan agenda pemberantasan korupsi hingga melemahkan KPK. Kelima, pengesahan UU Cipta Kerja melalui mekanisme omnibus law merupakan tren buruk dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Keenam, dinyatakan bersalah atas buruknya kualitas udara, tapi Presiden justru mengajukan banding. Ketujuh, minimnya perlindungan hukum dan HAM dalam praktik buruk Pinjaman Online (Pinjol). 

Kedelapan, persoalan Papua: dari Otonomi Khusus Jilid II, diskriminasi hingga kriminalisasi terhadap aktivis Papua semakin masif. Kesembilan, mandeknya pembahasan RUU PKS dan RUU PPRT menunjukan pemerintah tidak tegas memberikan perlindungan terhadap warga negara. Kesepuluh, watak buruk pembangunanisme negara yang tertuang dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Sebelas, minimnya perlindungan negara terhadap pekerja migran di luar negeri. Dua Belas, pepesan kosong janji untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Tiga belas, gagap dalam melakukan penanggulangan bencana banjir.

Arif mendesak pemerintahan Jokowi-Ma'ruf melakukan evaluasi pemerintahan besar-besaran untuk meminimalisir dampak pelanggaran HAM pada masyarakat sekaligus menyelamatkan citra rezim pemerintahan dalam catatan sejarah. Evaluasi itu dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan dan masyarakat luas, termasuk terhadap kebijakan vaksinasi Covid-19.

Pemerintah Indonesia harus menghadirkan suasana yang aman dan nyaman bagi segenap masyarakat Indonesia untuk menjamin hak atas kebebasan berekspresinya dan menghadirkan aparat penegak hukum yang demokratis, berperspektif HAM, serta mampu menghargai kebebasan berekspresi. Tidak menggunakan kekuatan Polri sebagai alat pembungkam kebebasan sipil dan bersama Kapolri mendorong reformasi kepolisian sipil dalam organisasi institusi Polri.

Pemberantasan korupsi harus dilaksanakan serius dengan mendorong penguatan kelembagaan KPK, mencabut revisi UU KPK, dan bertanggung jawab atas pemecatan 57 pegawai KPK. “UU Cipta Kerja juga perlu dicabut melalui Perppu demi melaksanakan amanat UUD RI Tahun 1945 dan penghormatan HAM,” tegas Arif.

Selain itu, Arif mendesak pemerintah untuk mencabut upaya banding dalam kasus Polusi Udara dan segera melaksanakan putusan PN Jakpus. Penting juga untuk menerbitkan regulasi yang memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan guna menjamin perlindungan hukum dan HAM bagi pengguna pinjaman online (pinjol). Sekaligus melakukan pengawasan dan penindakan tegas terhadap penyedia jasa pinjaman online.

Pemerintah perlu melakukan moratorium atas kebijakan Otonomi Khusus Jilid II Papua. Menurut Arif, kebijakan untuk Papua harus dirumuskan ulang secara berkeadilan dan partisipatif, menghapus praktik rasisme, diskriminasi, dan kriminalisasi terhadap orang asli Papua. “RUU PKS dan RUU PPRT harus segera dibahas dan disahkan dengan melibatkan korban kekerasan seksual, pekerja rumah tangga, organisasi pendamping, serta ahli.”

Tak hanya itu, pemenuhan terhadap hak-hak pekerja perlu dilakukan dan melindungi seluruh pekerja migran dari kekerasan dan vonis hukuman mati. Pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu harus diadili serta membuka dokumen TPF kasus Munir kepada publik. Terakhir, Arif mengusulkan pemerintah untuk serius menangani banjir dan membuka ruang partisipasi bagi masyarakat terdampak.

ICJR beri rapor merah

Sebelumnya Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, menilai reformasi peradilan pidana selama 2 tahun Jokowi-Ma’ruf berjalan stagnan. Dia mencatat sedikitnya ada 3 hal yang perlu disoroti selama 2 tahun pemerintahan Jokowi-ma’ruf.

Pertama reformasi hukum pidana materil. Salah satu persoalan dalam sistem peradilan pidana yakni over kriminalisasi dan ketergantungan yang begitu besar dengan pemenjaraan. Tapi setelah 12 kali sosialisasi RKUHP yang dilakukan pemerintah, potensi over kriminalisasi masih ada. Misalnya ketentuan terkait penghinaan kepada Presiden, lembaga negara, dan unjuk rasa yang mengganggu ketertiban umum dikenakan ancaman pidana dan penjara.

“Tidak hanya RKUHP, legislasi lain yang overkriminalisasi tak juga diperbaiki secara tepat dan segera. Misalnya yang paling utama, UU Narkotika, yang masih mempidana pengguna narkotika, tapi langkah menghadirkan dekriminalisasi pengguna narkotika tak kunjung dikonkretkan,” papar Erasmus.

Kedua reformasi hukum acara pidana. Erasmus melihat tak hanya dalam aspek materiil mengenai norma hukum pidana, momentum reformasi hukum acara juga terjadi dengan adanya pandemi covid-19. Seharusnya respons segera dijalankan untuk membuat pengaturan hukum acara pidana yang tetap menjamin hak atas peradilan yang adil di tengah kondisi darurat. Sayangnya pemerintah juga luput meformasi hal ini di tataran legislasi.

Ketiga, reformasi respon pemerintah terhadap kritik masyarakat. Erasmus mencatat aparat kerap bertindak represif dan tidak mengindahkan batasan kewenangan yang diatur dalam UU dan melanggar HAM. Misalnya dalam kasus demonstrasi Reformasi Dikorupsi tahun 2019 dan Mosi Tidak Percaya tahun 2020. Dalam peristiwa itu ditemukan ada pengunaan kekuatan secara berlebihan oleh aparat. Ditambah lagi, penghapusan mural bermuatan kritik dan ancaman terhadap warga yang menyuarakan #PercumaLaporPolisi.

“Atas dasar hal tersebut ICJR memberikan rapor merah pada pekerjaan rumah Presiden Jokowi di isu reformasi peradilan pidana,” tegas Erasmus.

Erasmus mendorong pemerintah untuk serius mencegah overkriminalisasi dan overcrowding. Presiden Jokowi harus berkomitmen penuh bahwa perumusan hukum pidana tidak boleh menghadirkan overkriminalisasi, apalagi kriminalisasi yang menjauhkan demokrasi dan perlindungan warga negara. Begitu juga akuntabilitas sistem peradilan pidana dengan menginisiasi pembahasan revisi KUHAP, menjamin due process of law dan perlindungan HAM sebagai prinsip.

Tak ketinggalan Erasmus mendesak pemerintah memberikan ruang demokrasi yang terbuka kepada masyarakat. Caranya antara lain tidak merespon secara reaktif dan represif kritik dan masukan yang disampaikan masyarakat

Tags:

Berita Terkait