Sejumlah RUU Ini Bakal Kedepankan Penerapan Keadilan Restoratif
Utama

Sejumlah RUU Ini Bakal Kedepankan Penerapan Keadilan Restoratif

Seperti RKUHP, RUU Kejaksaan, RUU Narkotika, RKUHAP, hingga RUU PKS.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Wakil Ketua MPR Arsul Sani dalam acara focus group discussion bertajuk 'Penyamaan Persepsi Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Keadilan Restoratif' di Solo, Kamis (4/11/2021). Foto: RFQ
Wakil Ketua MPR Arsul Sani dalam acara focus group discussion bertajuk 'Penyamaan Persepsi Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Keadilan Restoratif' di Solo, Kamis (4/11/2021). Foto: RFQ

Pelaksanaan restorative justice (keadilan restoratif) sudah diterapkan sejumlah institusi penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, hingga Pengadilan. Hal ini ditunjukan dengan terbitnya sejumlah peraturan di internal lembaga masing-masing dalam upaya menjalankan fungsi penegakan hukum. Untuk itu, kondisi ini perlu ditindaklanjuti dengan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang sedang dibahas di lembaga legislatif.

“Apa yang ada dalam roadmap fungsi egislasi di DPR sejak periode lalu, keadilan restoratif menjadi bagian reformasi hukum Indonesia yang semangat normanya akan diakomodir dalam sejumlah UU,” ujar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani dalam acara focus group discussion bertajuk “Penyamaan Persepsi Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Keadilan Restoratif” di Surakarta, Solo, Kamis (4/11/2021).

Dia mengatakan ikhtiar masing-masing lembaga penegak hukum untuk menerapkan keadilan restoratif sebagai bagian sistem peradilan terpadu perlu didukung penuh. Lantas apa saja rancangan UU yang bakal mengedepankan penerapan keadilan restoratif dimaksud?  

Pertama, DPR dalam periode 2014-2019 telah mulai membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Meski pembahasannya hingga saat ini masih berlangsung, RKUHP sudah memuat rumusan materi keadilan restoratif termasuk kelembagaannya dalam sejumlah RUU terkait.   

Kedua, Revisi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Menurut Arsul, dalam RUU Kejaksaan menyisipkan bagaimana korps adhiyaksa mengimplementasikan keadilan restoratif dalam tugas pokok dan fungsi jaksa. Dia berharap pemerintah mengajukan asas keadilan restoratif sebagai pokok penyebab over kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas).

Ketiga, revisi UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menurutnya, UU 35/2009 dalam praktik penegakan hukum sudah cukup baik yang mencerminkan keadilan restoratif. Hanya saja, implementasinya belum sepenuhnya terlaksana dan diterapkan seluruh jajaran penegak hukum, khususnya bagi jajaran Polri dan pengadilan. “Meski harus diakui dalam tahun-tahun terakhir ikhtiar melakukan pendekatan keadilan restoratif dalam kasus narkotika meningkat. Ini terkait penerapan Pasal 127 UU 35/2009,” kata dia.

Anggota Komisi III DPR ini menegaskan Pasal 127 UU 35/2009 sebagai bentuk implementasi keadilan restoratif memerintahkan pengguna murni, pengguna, dan bukan bandar narkoba agar direhabilitasi sebagai ujung proses hukum, bukan malah dikirim ke penjara (dihukum pidana, red). Faktanya, kondisi lapas 50 persen diisi oleh warga binaan pemasyarakatan, terpidana kasus narkoba. (Baca Juga: Keadilan Restoratif Tidak Direkomendasikan untuk 3 Jenis Kejahatan Ini)

Keempat, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Menurutnya DPR berencana bakal membahas RKUHAP. Semula RKUHAP menjadi inisiatif pemerintah. Namun karena persoalan ego sektoral di internal pemerintah, RKUHAP menjadi usul inisiatif DPR berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah.

DPR menyusun naskah akademik dan draf RUU jauh lebih cepat ketimbang pemerintah. Setiap draf RUU yang disusun mesti mendapat persetujuan dari masing-masing institusi penegak hukum. RKUHAP pun nantinya tidak berbentuk dalam amandemen atau perubahan, tapi penggantian seperti halnya RKUHP. “Ini juga naskah akademik dan draf RUU sedang disiapkan (DPR, red),” lanjutnya.

Kelima, Revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurutnya, RUU Pemasyarakatan telah rampung dibahas pada DPR periode lalu. Dia menegaskan RUU Pemasyarakat berisi prinsip-prinisp keadilan restoratif bidang pemasyarakatan. RUU ini bersinggungan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang beberapa pasalnya telah dibatalkan Mahkamah Agung (MA).

Keenam, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang masih dalam proses pembahasan. Sedangkan, Revisi UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri masuk dalam daftar Prolegnas 2020-2024. RUU Polri ini semestinya menjadi usul inisiatif pemerintah. “Dalam RKUHAP, saya berharap semua pemangku kepentingan, seperti PPNS, Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman harus memberikan masukan agar KUHAP ke depan mencerminkan prinsip-prinsip keadilan restoratif yang lebih baik. Ini tantangan kita,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Sementara itu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud MD menilai bergesernya paradigma secara formal dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif menjadi hal positif. “Adanya keadilan restoratif berpijak pada hukum manusia antara pelanggar, korban, dan masyarakat lingkungannya,” kata Mahfud MD.

Dia menerangkan penekanan penerapan keadilan restoratif di instansi penegak hukum, seperti di Polri terbit telegram Kabareskrim No.STR/583/VIII/2012 tentang Penerapan Restoratif Justice; Surat Edaran (SE) No.8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Penyelesaian Perkara Pidana. Kemudian Perkap No.6 Tahun 2019 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Di Kejaksaan Agung dengan Peraturan Kejaksaan (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sedangkan, Mahkamah Agung (MA) membuat 8 produk pengaturan keadilan restoratif dan dituangkan dalam Surat Keputusan Badan Peradilan Umum (SK Badilum).   

Hukumonline.com

Menkopolhukam Mohammad Mahfud MD. 

Menurut Mahfud, beragam aturan internal itu menunjukan keseriusan institusi penegak hukum untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam proses penegakan hukum. Dia mengingatkan agar proses keadilan restoratif tidak menjadi pintu masuk “industri hukum”. “Kita selesaikan dengan cara ini itu, dan hukum dibuat dengan cara jual-beli,” kata Mahfud.

Dia melanjutkan industri hukum hanya sindiran bagi penegak hukum yang memperjualbelikan hukum. Seperti seseorang yang dipandang bersalah, tapi lepas dari jerat hukum karena membayar sejumlah rupiah. Bahkan, kasus perdata bisa dijadikan pidana. Modus tersebut sudah menjadi rahasia umum. “Tapi masalah itu kasuistis. Memang ada satu dua yang ‘nakal’ pasti itu akan menjadi berita besar,” katanya.

Tags:

Berita Terkait