Sidang MKD, Substansi Lebih Penting dari Formalitas
Berita

Sidang MKD, Substansi Lebih Penting dari Formalitas

Pembentukan panel penting untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran.

KAR/FNH
Bacaan 2 Menit
MKD. Foto: RES
MKD. Foto: RES
Sidang etik yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto ramai menjadi tontonan. Publik pun disuguhkan penampilan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang menyidang layaknya hakim. Tak hanya berpakaian seperti hakim lengkap dengan toganya, para anggota MKD pun dipanggil dengan sebutan “Yang Mulia”.

Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Saldi Isra, penampilan dan sebutan anggota MKD hanya cara untuk menimbulkan keseriusan. Lebih lanjut ia menuturkan, sidang etik seperti yang dijalankan oleh MKD seharusnya lebih mementingkan hal-hal yang bersifat substantif. Pasalnya, Saldi menilai bahwa formalitas yang dikedepankan MKD itu justru membuat pemeriksaan substansi menjadi kurang mendalam.

“Misalnya, pendalaman mengenai keterangan pelapor. Seharusnya bisa lebih mendalam lagi. Tapi karena terlalu mengedepankan formalitas, jadinya pendekatan yang dilakukan segitu saja,” tuturnya kepada hukumonline, Jumat (11/12).

Saldi pun maklum, jika sidang yang dilakukan MKD banyak menimbulkan pro dan kontra. Sebab, sidang tersebut dilakukan oleh orang-orang berlatar belakang partai politik. Oleh karena itu, Saldi pun berharap agar sidang etik yang dijalankan MKD bisa berlanjut ke tahap berikutnya.

Menurut Saldi, indikasi yang diperlihatkan dalam sidang yang berjalan menimbulkan alasan kuat agar MKD membentuk panel. Nantinya, sesuai dengan UU MD3, panel tersebut diisi oleh 3 orang anggota DPR dan 4 orang independen dari luar DPR. Ia menilai, panel tersebut penting untuk menindaklanjuti potensi kode etik yang dilanggar oleh Setya Novanto.

“Kita tahu banyak pasal kode etik yang dilanggar, terkait dengan kepentingan pribadi dan golongan maupun adanya dugaan korupsi. Menurut saya itu indikasi kuat agar dibentuk panel,” kata Saldi.

Ia menyebut, jika semua indikasi pelanggaran kode etik diselesaikan oleh MKD, terlalu banyak tarikan politik. Ia melihat, keberadaan orang di luar DPR yang menjadi anggota DPR sangat strategis untuk menetralisir tarik-menarik kepentingan. Dirinya member catatan, orang luar DPR yang menjadi anggota panel pun harus memenuhi beberapa persyaratan.

Pertama, orang tersebut harus memiliki integritas dan dipercaya tidak memiliki bias politik. Kedua, kewibawaannya tidak diragukan lagi. Terakhir, kredibilitasnya baik dan rekam jejaknya tak berpolemik.

Sementara itu, Hakim Agung dan juga Mantan Ketua Badan Kehormatan DPR, Gayus Lumbuun, mengkritisi bahwa seharusnya sidang etik DPR tidak terburu-buru. Ia mengatakan, sidang tersebut bukan untuk mengejar bola. Dirinya khawatir, jika MKD diburu waktu malah nantinya mencari-cari kesalahan pihak-pihak terkait.

Gayus juga menambahkan, dalam sidang etika orang yang hadir diukur dari kepentingannya. Artinya, jika ia tidak hadir maka seharusnya ia merasa rugi karena kepentingannya tidak bisa diperjuangkan dalam sidang. Dengan demikian, ia menilai tak perlu ada upaya paksa pemanggilan orang-orang yang diperlukan keterangannya dalam sidang.

Kendati demikian, Gayus mengakui, anggota MKD pun dimungkinkan meminta bantuan aparat penegak hukum untuk menghadirkan saksi. Sebab, hal itu diatur dalam aturan MKD. Akan tetapi, Gayus mengingatkan bahwa bagaimanapun juga upaya tersebut harus dibedakan dengan upaya paksa dalam perkara pidana.

“Kalau dalam pidana, orang yang tidak memenuhi panggilan pengadilan sudah melakukan contempt of court. Tapi kalau dalam sidang etik, dia tidak mau memenuhi panggilan ya kepentingannya dirugikan. Nantinya, kalau dipanggil paksa orang tersebut diam saja, MKD bisa apa?” tambahnya.

Hanya saja, Gayus menambahkan, bahwa saksi yang berasal dari anggota DPR dimungkinkan untuk mendapat sanksi. Hal itu jika MKD melakukan laporan kepada fraksi yang bersangkutan. Artinya, sanksi diberikan oleh fraksi.
Tags:

Berita Terkait