Sikap MK Soal Pimpinan Organisasi Advokat Rangkap Timses Capres-Cawapres
Utama

Sikap MK Soal Pimpinan Organisasi Advokat Rangkap Timses Capres-Cawapres

Menurut Mahkamah, advokat yang menjadi pimpinan OA dan ditunjuk menjadi tim sukses Capres-Cawapres sebagai bentuk kesediaan advokat yang bersangkutan memberikan bantuan hukum kepada siapapun tanpa memandang agama, ras, suku, keturunan, dan keyakinan politik.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Perhelatan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 yang diikuti 3 pasangan diwarnai berbagai dukungan dari masing-masing kubu. Dukungan mengalir dari berbagai elemen masyarakat termasuk organisasi profesi advokat.

Seperti halnya Otto Hasibuan, orang nomor satu di DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menggalang dan mendeklarasikan dukungannya pada pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Deklarasi dukungan melalui Aliansi Advokat Indonesia Bersatu (AAIB) di penghujung Januari 2024 lalu. Langkah Otto menuai kritik dari kalangan organisasi advokat lainnya.

Mantan Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Prof Frans Hendra Winarta mengatakan sedianya secara etika profesi, advokat tidak boleh menjadi pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Boleh dibilang, sedari dulu advokat tidak lazim menjadi pegawai negeri, polisi maupun tentara.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan itu mengatakan mundur dari profesi advokat sebelum terjun ke dunia politik merupakan etika dan kebiasaan yang diterapkan para advokat senior di zaman dahulu. Baginya, semua terdapat etika dan aturan yang mengatur profesi advokat.

Baca Juga:

Namun begitu, Frans yang notabene advokat senior itu mengaku prihatin dengan kemunduran dan paham demokrasi di Indonesia yang sedang marak di tahun pemilu 2024. Dia menilai, Bar Association atau National Bar Association maupun organisasi advokat tidak boleh berpolitik, apalagi adanya konflik kepentingan.

“Mereka harus indendepen sebagai free profession. Saya prihatin kalau advokat berpolitik dan organisasi advokat berpolitik,” katanya.

Polemik pimpinan advokat merangkap menjadi pimpinan tim sukses (timses) salah satu pasangan Capres-Cawapres dalam pemilu sampai berlabuh ke MK. Advokat Deddy Rizaldy Arwin Gommo mengajukan permohonan uji materil Pasal 28 ayat (3) UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam petitumnya meminta mahkamah menyatakan Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sebagaimana telah dimaknai putusan 91/PUU-XX/2022 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 tidak berkekuatan hukum tetap.

Sepanjang tidak dimaknai ‘Pimpinan Organisasi Advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta menduduki pimpinan tim sukses pemenangan calon presiden dan wakil presiden’.

Lalu, MK melalui Putusan No. 22/PUU-XXII/2024 menolak permohonan tersebut. Membacakan pertimbangan putusan, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, mengatakan advokat adalah pemberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Jika advokat sekaligus pimpinan organisasi advokat diberlakukan pembatasan untuk tidak memberikan jasa hukum yang diberikan berkaitan erat dengan aktivitas hukum melekat dalam tim sukses Capres-Cawapres yang bersangkutan, maka terhadap advokat yang sekaligus sebagai pimpinan OA justru dapat dikenakan tindakan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya.

“Artinya, memberikan larangan terhadap advokat yang menjabat sebagai pimpinan organisasi advokat yang tergabung dalam tim sukses pemenangan pasangan Capres-Cawapres adalah sama halnya menghadapkan advokat yang bersangkutan untuk dapat dikenakan sanksi karena telah melakukan pelanggaran etik,” kata Yusmic membacakan sebagian pertimbangan putusan No. 22/PUU-XXII/2024, Rabu (20/3/2024) pekan kemarin.

Bahkan, Daniel menyebut advokat yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata karena dianggap menghindarkan diri dari kewajiban membela klien. Di mana advokat wajib membela kliennya termasuk di luar proses peradilan. Apalagi dalam menjalankan profesinya advokat dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, (kepentingan/afiliasi, red) politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

Bagi Mahkamah, advokat yang menjadi pimpinan organisasi advokat dan ditunjuk menjadi tim sukses pemenangan Capres-Cawapres sebagai bentuk kesediaan advokat yang bersangkutan memberikan bantuan hukum kepada siapapun tanpa memandang agama, ras, suku, keturunan, dan keyakinan politik. Hal itu sulit dipisahkan dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam menjalankan profesi dan kedudukan sebagai anggota tim sukses pemenangan Capres-Cawapres semata.

Jika permohonan pemohon diakomodir Yusmic melihat yang terjadi justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum baru. Sebab, sulit membedakan advokat yang merupakan pimpinan OA tersebut tergabung dalam pimpinan tim sukses pemenangan pasangan Capres-Cawapres semata-mata karena menggunakan hak politiknya atau sedang menjalankan fungsi advokasi dalam mengaktualisasikan tugas profesinya sebagai advokat.

“Dalil Pemohon mengenai ketiadaan pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat yang menduduki jabatan pimpinan tim sukses pemenangan pasangan Capres-Cawapres adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Yusmic.

Membacakan konklusi putusan, Ketua MK Suhartoyo menyebut mahkamah berwenang mengadili perkara a quo. Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Pokok permohonan Pemohon tidak beralasan untuk seluruhnya.

“Dalam amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujarnya membacakan amar putusan.

Sebelumnya, Ketua DPN Peradi RBA Luhut MP Pangaribuan menilai deklarasi dukungan terhadap Capres-Cawapres itu sebagai penyalahgunaan jabatan advokat. Dia menilai, advokat sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman harus independen dalam politik. Setiap pasangan calon (Paslon) Capres-Cawapres harus diperlakukan sama sebagaimana prinsip equality before the law.

Kendati demikian, sebagai pribadi advokat boleh menentukan pilihan politiknya. Dia mengingatkan advokat berikrar dalam sumpah advokat akan menjaga UUD 1945 dan Pancasila. Oleh sebab itu advokat juga disebut sebagai penjaga konstitusi.

“Jadi jika ada mobilisasi advokat begitu itu sama dengan penyalahgunaan jabatan advokat yang juga bagian dari penegak hukum,” ujarnya saat dikonfirmasi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Peradi SAI, Patra M Zen mengatakan hak setiap orang untuk mendukung salah satu paslon Capres-Cawapres dalam pemilu. Tapi persoalan muncul ketika ada ketua umum organisasi advokat masuk dalam Tim Pemenangan salah satu pasangan calon. Menurutnya, di negara maju seperti Amerika Serikat, ada aturan tegas melarang tindakan seperti itu.

Bagi Patra, ketua umum organisasi advokat yang masuk sebagai tim kampanye bisa disebut tidak paham peran dan fungsinya. “Begini ilustrasinya, apa boleh Kapolri, Jaksa Agung atau Ketua MA masuk ke dalam Tim Pemenangan? Nah, ini juga berlaku semestinya untuk Ketua Umum organisasi advokat,” kata Patra.

Tags:

Berita Terkait