Simak Yuk! Dosen-Dosen Hukum Tata Negara Bicara tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
Fokus

Simak Yuk! Dosen-Dosen Hukum Tata Negara Bicara tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar

Kriteria yang jelas dan detil akan membantu daerah mengajukan permohonan penetapan PSBB.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Ia berpendapat imbauan saja tidak mencukupi untuk menerapkan pembatasan sosial. “Seluruh kepala daerah wajib untuk mengikuti dan melaksanakan strategi yang telah ditetapkan Presiden yaitu dengan PSBB sambil nantinya setelah diterapkan dalam waktu tertentu akan dilakukan evaluasi atas efektivitas strategi ini,” jelasnya.

Dampak luas harus dipikirkan

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Surabaya, Herlambang P. Wiratraman berpendapat terbitnya Keputusan Presiden tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM), sekalipun terlambat, patut diapresiasi. Pertama, secara hukum diatur khusus mengenai perintah Pasal 10 ayat (1) hingga ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai prasyarat terbitnya PP. Dalam teori perundang-undangan, produk hukumnya harus Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau beschikking.

Kedua, pemaknaan bahaya dalam UU merujuk pada pengertian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2. ’KKM adalah kejadian masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara’.

“Masalahnya, selain pemerintah pusat belum berencana membuat peraturan pemerintah (PP) tentang tata cara penetapan dan pencabutan KKM, sebagaimana mandat pasal 10 ayat (4) UU No. 6 Tahun 2018, PP yang diterbitkan juga sebatas soal PSBB. Artinya, pemerintah tidak hendak melakukan karantina wilayah. Padahal, lingkup PSBB hanya mengatur libur sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan kegiatan di tempat atau fasum (pasal 59 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018),” terangnya.

Herlambang juga menyinggung Perppu No. 1 Tahun 2020, yang memang diniatkan untuk penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus belanja kesehatan, jaring pengaman sosial serta pemulihan ekonomi dunia usaha dan masyarakat terdampak. Yang jadi persoalan, menurut dia, adalah penegasan perlindungan hak-hak warga, bukan semata soal pemenuhan kebutuhan dasar selama masa darurat, tetapi juga jaminan keberlangsungan hidup pasca Covid-19.

“Bagaimana dengan nasib buruh yang sudah dipaksa cuti di luar tanggungan, di-PHK, atau tenaga outsourcing yang rentan perlindungan sosial-ekonominya? Sementara ketentuan pasal 27 ayat (2) Perppu menegaskan pengecualian pertanggungjawaban hukum bagi para pejabat terkait,” ujarnya.

Herlambang juga menyoroti kelambanan dan sikap abai pada awal-awal penanganan bahaya Covid-19. Kelambanan dan pengabaian hingga menimbulkan sejumlah orang meninggal terpapar virus bukan semata pelanggaran administrasi (maladministrasi). Ia melihatnya sudah dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Ia berharap Pemerintah lebih serius melindungi warga negara dari dampak penyebaran virus corona. “Semoga pemerintah lebih sungguh-sungguh bekerja secara konsisten, terukur, dan transparan dalam menyelamatkan dan melindungi warga negaranya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait