Sistem Kamar, SEMA, dan Visi Kesatuan Hukum yang Patut Dipertanyakan
Kolom

Sistem Kamar, SEMA, dan Visi Kesatuan Hukum yang Patut Dipertanyakan

Dalam upaya menjaga kesatuan penerapan hukum, perspektif hukum yang berkembang di kalangan hakim perlu mendapatkan perhatian yang layak.

Bacaan 6 Menit

Ketentuan pembagian harta bersama dalam SEMA di atas tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tentang harta bersama, baik Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan tentang alasan-alasan perceraian dalam SEMA di atas juga tidak ditemukan di peraturan perundang-undangan baik dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 maupun Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Frasa “dapat dikabulkan” dalam ketentuan SEMA No. 1 Tahun 2022 huruf C Rumusan Kamar Agama angka 1 huruf a dan b telah masuk ke dalam ranah hukum materiil berkaitan dengan pokok perkara. Lain halnya jika materi yang diatur berkaitan dengan prosedur atau hukum formil, maka frasa yang digunakan adalah “dapat diterima” atau “tidak dapat diterima”.

Materi muatan SEMA yang mengatur tentang hukum materiil ternyata berlanjut dalam SEMA No. 2 Tahun 2023 bertanggal 17 Juli 2023 tentang tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Poin kedua dalam SEMA tersebut memuat ketentuan bahwa pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Ketentuan tersebut berkaitan dengan hukum materiil yang diatur Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan’ adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”. Ketentuan dalam SEMA itu menimbulkan konflik antarnorma hukum terkait pencatatan perkawinan yang dilakukan antarumat berbeda agama alih-alih memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum.

Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengakui peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan selain dimaksud Pasal 7 ayat 1. Namun, Pasal 8 ayat 2 menjelaskan batasannya. Peraturan perundang-undangan seperti yang dimaksud pada ayat (1) hanya diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Kewenangan Mahkamah Agung untuk membuat peraturan punya dasar hukum pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Pasal ini menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang tersebut.

Batasan kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat peraturan diatur dalam Penjelasan Pasal 79 sebagai berikut: “Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian.”

Perkembangan materi muatan SEMA yang berkaitan dengan hukum materiil, jika dicermati berdasarkan ketentuan Penjelasan Pasal 79 di atas, telah melampaui batasan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Mahkamah Agung dalam membuat peraturan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah perkembangan yang demikian merupakan implikasi dari penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung atau murni karena faktor kelalaian dalam membuat peraturan? Sebelumnya, peran untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui putusan-putusan di tingkat kasasi yang kemudian diikuti oleh hakim-hakim di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Hasilnya kemudian menjadi yurisprudensi tetap.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait