SPDP Terbit Tak Berarti Sudah Ada Tersangka
Utama

SPDP Terbit Tak Berarti Sudah Ada Tersangka

Proses hukum bisa dihentikan oleh kepolisian atau kejaksaan kapan saja.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Yoni menguraikan bahwa perkara yang tengah diproses bisa dihentikan kapan saja mulai dari saat masih ditangani kepolisian hingga telah dilimpahkan ke kejaksaan. Kejaksaan bisa saja merasa keberatan bahwa perkara yang dilimpahkan kepolisian sebagai perkara pidana. Selanjutnya perkara bisa dihentikan di kejaksaan. Menurut pengalaman Yoni, perkara yang sudah dinyatakan P-21 (pemberitahuan hasil penyidikan telah lengkap) ke kejaksaan pun bahkan bisa dihentikan sendiri oleh kepolisian.

(Baca juga: Bisakah Hakim Mengembalikan Berkas Kepada Jaksa?).

Ketentuan soal SPDP disebutkan sebagai berikut dalam pasal 109 KUHAP. Tampak jelas bahwa SPDP adalah tahapan untuk mencari bukti-bukti yang cukup untuk memastikan telah terjadi tindak pidana beserta siapa tersangkanya.

Putusan MK

Berdasarkan penelusuran hukumonline, pada tahun 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materil Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Pasal tersebut tetap bisa berlaku konstitusional jika SPDP diserahkan penyidik kepada kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor paling lambat tujuh hari setelah terbitnya surat itu.

Pada saat itu, Kejaksaan Agung merespons putusan Mahkamah Konstitusi dan menyebutnya sebagai langkah positif. Selama ini tidak ada batasan kapan SPDP harus diberikan penyidik kepada penuntut umum. Putusan ini memberikan kepastian kepada para pihak.

(Baca juga: MK Tetapkan 7 Hari Penyerahan SPDP ke Penuntut Umum)

Dengan putusan itu maka seharusnya SPDP dikirimkan oleh penyidik kepolisian Daerah Metro Jaya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Tembusan surat ditujukan pula kepada terlapor dan pihak pelapor. Di dalam SPDP tertera bahwa diduga telah terjadi tindak pidana makar atas dasar beberapa pasal KUHP secara bersama-sama dengan orang lain.

Tags:

Berita Terkait